Pengunjung

Powered by Blogger.

Seguidores

Artikel Disarankan

Peran Gus Ma'shum Lirboyo Dalam Penumpasan PKI



Setelah lepas dari kolonialisme Belanda, perjalanan sejarah Indonesia masih menghadapi banyak masalah di berbagai bidang, kususnya bidang ekonomi, social, politik dan keamanan. Berbagai masalah datang silih berganti, dan yang paling tragis serta tercatat dengan tinta merah adalah peristiwa G-30/S PKI (GESTAPU) yang merupakan usaha PKI untuk merebut kekuasaan Negara.


Peran Sentral Lirboyo Dalam Penumpasan PKI


Saat meletus peristiwa G-30S/PKI Lirboyo adalah kiblat perjuangan masyarakat di eks-Karisedenan Kediri. Peran sentral itu tidak lepas dari sejarah perjalanan panjang Lirboyo dalam memimpin masyarakat sejak zaman kolonialisme Belanda dan Jepang. Pasukan PETA misalnya, Dibentuk di Lirboyo dan berawal dari inisiatif Kiai Ibrahim (Banjar melati, ipar Kiai Abdul Karim), sedangkan Laskar Hizbullah-Sabilillah di Kediri di sponsori oleh Kiai Mahrus Aly, yang belakang hari menjadi embrio terbentuknya Kodam V Brawijaya. Peran sentral itu tidak hanya berhenti disitu, dimasa pembrontakan PKI aksi sepihak yang dilancarkan diberbagai daerah menggugah kesadaran para pengasuh Lirboyo untuk bertindak.


Saat peristiwa Madiun Kiai Mahrus Aly bersama para santrinya berangkat ke Madiun untuk menumpas pembrontakan PKI disana.Kiai Mahrus Aly bergabung dengan Brigade S.Soerahmad dan berhasil menumpas pembrontakan disana. Gus Maksum sebagai orang dekat Kiai Mahrus Aly didapuk menjadi komandan tempur lapangan setiap aksi penumpasan.


Menjadi Komandan Penumpasan PKI


Sabotase aksi sepihak dan aksi teror yang dilakukan PKI hampir merambah keseluruh wilayah Nusantara, Kediri daerah yang menjadi tempat tinggal Gus Maksum juga tak luput dari aksi-aksi itu. Penculikan, penyerobotan tanah, pembunuhan dan tindakan brutal lainnya hampir menghiasi kehidupan kabupaten Kediri. Melihat aksi sewenang-wenang itu, Gus Maksum mempunyai keyakinan bahwa PKI yang selama ini sebagai partai politik resmi yang diakui pemerintah telah berbuat makar dan ingin merebut kekuasaan sekaligus mengubah ideology Pancasila menjadi komunis.


Sebagai orang muslim Gus Maksum sangat tidak rela jika Negara ini berubah menjadi Negara komunis. Dengan bekal Kemampuan yang dimilikinya, Gus Maksum sebagai seorang yang sangat muda waktu itu ( umur 18 Tahun ) telah diberi amanat menjadi Komandan Pemberantasan PKI, Beliau orang yang berani terang-terangan menyatakan “Ganyang PKI” di Kediri. Dan telah membuktikannya dengan tindakannya.


Peristiwa Watu Ompak


Strategi PKI untuk melakukan kudeta diantaranya selalu membuat keresahan dan provokasi, salah satu provokasi PKI adalah menantang GP ANSOR untuk melakukan pertandingan silat secara regular sebulan sekali, karena kebetulan dipihak PKI banyak yang merasa jago silat. Tantangan itu ditunjukan kepada tiga pesantren dikecamatan Prambon,Nganjuk yakni Pesantren Selo Agung, Bandung dan Kedungsari. Awalnya Ansor menganggap ajakan itu adalah salah satu bentuk mempererat persahabatan.


Namun setiap pertandingan diadakan, ejekan, agitasi, provokasi dan teror terus menerus dilontarkan pihak PKI. Puncaknya pertandingan yang dilaksanakan di desa Watu Ompak, Prambon suasana begitu panas. Pesilat dari pihak PKI tampak percaya diri, maklum pada waktu itu daerah prambon PKI sangat dominan. Mereka terus memprovokasi Ansor “Aku kemari jalan-jalan ke neraka”dan kata-kata yang seenak mereka. Namun pendekar dari pihak Ansor tidak langsung bertindak mereka menunggu kedatangan Gus Maksum dari Kediri. Gus Maksum datang dan langsung naik kearena pertandingan dengan meneriakan takbir “Allohu Akbar” .


Pada waktu itu orang-orang melihat rambut Gus Maksum berdiri dan mengeluarkan api, melihat itu pemuda Ansor bangkit keberanianya dan langsung menyerang pihak PKI yang kala itu mulai ketakutan spontan pihak PKI banyak yang lari tunggang langgang.


Teror Kanigoro


Pesantren Kanigoro asuhan Kiai Jauhari sering dijadikan tempat mental training (TC) oleh PII (pelajar Islam Indonesia) seluruh Jatim. Saat TC baru berlangsung beberapa hari, tepat subuh 13 Januari 1965 sekitar pukul 04.30,sedang diadakan acara istighosah. Saat acara sedang berlangsung dengan khidmat, tiba-tiba gerombolan PR (Pemuda Rakyat ), BTI (Barisan Tani Indonesia) dan underbow-underbow PKI yang lainnya masuk menyerbu dan merusak jalannya acara. Gerombolan yang jumlahnya lebih kurang seribu orang dipimpin oleh ketua pengurus Cabang PR yang bernama Soerjadi, PKI berani melakukan tindakan seperti itu karena mereka mayoritas disana sedangkan umat islam hanya sekitar 10% Dari total jumlah penduduk Kanigoro.


Dengan bersenjatakan kelewang,parang, palu, bahkan pistol mereka menggerebek masjid, merusak, memukul dan menyerang para peserta TC, Kiai, Ulama dan siapa saja yang disitu. Mereka memporakporandakan apa saja yang didalamnya, termasuk menginjak–injak Al-Qur’an dan memperlakukan wanita diluar batas kesusilaan. Dengan diiringi yel-yel seperti “ganyang santri”, ganyang sorban” dan lain-lain,mereka menyandera para peserta TC para Kiai dan Ulama termasuk kiai Jauhari, dan mereka diserahkan ke kantor polisi Kras.


Mendengar itu, sekitar pukul 08.00 pagi, Gus Maksum yang saat itu ada di Lirboyo langsung meluncur ke kantor Polisi Kras. Namun sesampainya disana para sandera sudah dibebaskan, Gus Maksumpun menuju ke Kanigoro dan mendapatkan mereka dalam keadaan selamat, Walaupun masih tampak ketakutan dan trauma pada peristiwa yang baru saja mereka alami, ketika mereka hendak pulang kerumah masing-masing mereka banyak yang masih trauma dan ketakutan kaum wanita banyak yang menangis karena khawatir dihadang PKI ditengah jalan. Maklum rute dari kanigoro menuju jalan raya ( jalan raya tulung agung-kediri) memang agak jauh dan kanan kirinya masih sepi dan tidak ada pemukiman penduduk, ahirnya Gus Maksum mengawal mereka sendirian dan terus menjaga mereka hingga mendapat kendaraan.


Teror Kanigoro mendapat reaksi sangat keras dari umat Islam, khususnya daerah Kediri, Dan terror-teror terus saja berlanjut, Tidak lama atas kejadian itu, BANSER GP Ansor dibawah komando Gus Maksum menerjunkan 8 truk personilnya menggempur PKI di Kanigoro.  



Peran Gus Ma'shum Lirboyo Dalam Penumpasan PKI

Kala Musim Haji Bersemi



Kalam Habib Abdullah bin Husien Bin Thahir


Musim haji akan tiba. Kota suci Mekah bakalan di geruduk lagi oleh jutaan muslimin dari seantero jagad. Kulit putih, kulit hitam, kulit coklat, kulit kuning, semuanya tumpah ruah di kitaran Baitullah, Ka’bah di Bulan Dzul Hijjah.


Thawaf, Sa’i, lempar jumroh, serta wukuf Arafah akan memarakkan Dzul Hijjah di tanah Haram sana. Lautan manusia bergelombang kain ihram serba putih niscaya kian mengentalkan nuansa islami yang teduh dan damai. Aduhai, alangkah beruntungnya orang yang hadir di sana.


Tidak bisa di bantah. Haji, sebagai rukun islam kelima, wajib di kerjakan oleh muslim yang telah berkemampuan. Patokan kemampuan ini di urai dengan panjang lebar oleh ilmu fikih. Simak saja tausiyah Habib Abdullah bin Husien bin Thahir berikut ini.



“Bergegaslah menunaikan ibadah haji dan umrah kala kalian sudah berkesanggupan. Awas, jangan di akhir-akhirkan, jangan pula berleha dan mengulur waktu pelaksanaan keduanya. Allah SWT berfirman, yang maksudnya,
“Mengerjakan hajì adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”


Baginda Nabi SAW mewanti-wanti,
“Barangsiapa memiliki bekal dan kendaraan yang memadai untuk pergi ke Masjidil Haram namun ia tak jua berhaji, maka terserah ia menghendaki mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.”


HAJI DENGAN ILMU


Setiap ibadah ada ilmunya. Begitu pula Haji. Agar pelaksanaannya berjalan dengan benar dan lancar, alangkah bijaknya bila kita mempersiapkan segala sesuatu yang di perlukan. Apa sajakah itu? Simak saja lanjutan uraian Habib Abdullah berikut,


“Jika kalian berniat melaksanakan haji, mula-mula persiapkan bekal cukup dari harta yang halal. Lalu, jika kalian mampu, bantulah terlebih dahulu orang-orang kurang mampu sekitarmu. Sebab, esensi haji adalah perkataan bagus dan semangat untuk berbagi.”


“Bekali pula diri kalian dengan pengetahuan Fiqh Haji, agar kalian bisa melaksanakan prosesi secara sempurna dan terhindar dari kerusakan ibadah. Lazimilah wirid-wirid serta dzikir-dzikir yang di sunnahkan kala bepergian atau berhaji, seperti doa turun dari kendaraan, naik kendaraan, memandangi kota-kota dan lain sebagainya. Bacalah wirid-wirid yang sekiranya tidak membebani diri kalian. Jikalau kalian tidak menghafal satu wiridpun, kalian cukup berujar,


أللهم إني أسألك من خير ماسألك منه عبدك ونبيك محمد صلى الله عليه وسلم
وأعوذبك مما استعاذك منه عبدك ونبيك محمد صلى الله عليه وسلم


(Allahumma Innie As-aluka Min Khairi Maa Sa-alaka Minhu ‘Abduka Wa Nabiyyuka Muhammadun Shallahu ‘Alaihi Wa ‘Alaa Sallam, Wa A’udzubika Mimmas-Sta’aadzaka Minhu ‘Abduka Wa Nabiyyuka Muhammadun Shallahu ‘Alaihi Wa ‘Alaa Sallam) Artinya,
“Ya Allah, aku minta kepada-Mu segala kebaikan yang pernah di minta oleh hamba, sekaligus nabi-Mu, Muhammad SAW. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala yang pernah di mintakan perlindungan kepada Mu oleh Nabi-Mu Muhammad SAW.”


Usai melaksanakan haji, jangan lupa menziarahi masjid kebesaran baginda Nabi SAW. Sambangi pula tempat-tempat bernilai sejarah lainnya. Perbanyak Shalawat kepada Nabi SAW di perjalanan, di kota Madinah, dan di setiap keadaan kalian. Dan berucaplah dengan lìsan dan hati kalian setiap saatnya, dalam aktifitas maupun diam,
“Ya Allah, karunialah aku kesempurnaan dalam melaksanakan ajaran Nabi SAW, dhahir maupun Bathin, dalam keadaan sehat dan selamat, dengan Rahmat-Mu, Wahai Zat Yang Maha Pengasih.”


HARUS DENGAN AKHLAK


Benar adanya, berhaji kurang afdhal bila tidak di sertai mampir ke pusara Baginda Nabi SAW. Sebab, Ka’bah dan Pusara Baginda Nabi adalah dua monumen yang tak bisa di pisahkan. Kita beroleh hidayah dan bisa berkiblat ke Ka’bah adalah berkat perjuangan Beliau SAW. Bisa mengunjungi kedua tempat itu adalah anurgerah yang luar biasa. Begitu pula mengunjungi tempat-tempat bernilah sejarah lainnya. Habib Abdullah menasehatkan,


“Jika seseorang di takdirkan oleh Allah SWT untuk sampai ke tempat-tempat yang mulia dan penuh berkah, maka seyogianya ia memuji kebesaran-Nya dan mensykuri karunia itu. Janganlah sampai ia lupa diri dan melanggar etika kepantasan di tempat-tempat tersebut. Jangan sampai pula ia bermalas-malasan dan membuang waktu. Akan tetapi, hendaklah ia sebisa mungkin melaksanakan adab yang baik dalam tindak-tanduknya, dhahir dan bathin, dan menjalankan ìbadah dengan cara yang paling sempurna. Terpenting lagi, hendaklah ia berprasangka baik kepada semua orang, dan tidak meremehkan siapa pun. Sebab, di Haramain, dosa kecil nilainya amat besar. Sebagaimana pula nilai pahala dilipatgandakan di situ.” Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaika La Syarika Lak.


(Majalah Cahaya Nabawiy No.67 Th.VI Dzulhijjah 1429/Desember 2008)



Kala Musim Haji Bersemi

Mengungkap Ideologi PKS



Awal mula berdirinya PKS atau yang sebelumnya bernama PK (Partai Keadilan), bibit-bibit PK muncul sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, bibit-bibit PK adalah para aktivis dakwah kampus. Para aktivis dakwah kampus tersebut mendirikan dan mengelola pengajian yang diwadahi dalam bentuk lembaga dakwah kampus (LDK). Lembaga ini kerap menyelenggarakan berbagai aktivitas keagamaan, seperti pengajian untuk mahasiswa. Aktivitas keagamaan lembaga tersebut, lebih bersifat rahasia atau lebih sering dilakukan secara diam-diam dan jika lembaga tersebut menyelenggarakan pengajian untuk banyak orang, mereka berkamuflase dengan mengatasnamakan kegiatan mahasiswa.



Hal ini sengaja mereka lakukan karena pada masa itu, rezim yang berkuasa adalah rezim Soeharto. Rezim ini dikenal sangat represif terhadap gerakan keagamaan. Akan tetapi, situasi tersebut mulai berubah pada era 1990-an, saat Soeharto mulai menempatkan para aktivis Islam sebagai sekutu. Sejak saat itulah, gerakan yang semula bernama Usroh ini berganti nama menjadi Ikhwan dan mereka menamai aktivitas mereka dengan sebutan Tarbiyah.


Secara garis besar, gerakan ini terdiri dari lima elemen penting, yaitu pertama, DDII (Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia) dengan tokoh utamanya Mohammad Natsir. Kedua, aktivis LDK dan Rohis. Ketiga, alumnus perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi Timur Tengah. Keempat, aktivis ormas Islam. Kelima, dai lulusan pesantren. Lima elemen tersebut bergerak bersama-sama, saling mendukung, dan saling menguatkan dengan fungsi dan perannya masing-masing.


Dari lima elemen tersebut, elemen yang paling berperan besar bagi lahirnya gerakan ini adalah DDII. Para aktivis DDII yang merupakan mantan aktivis Partai Masyumi yang dibubarkan pada awal masa pemerintahan Soeharto ini, menjadi inisiator awal berdakwah melalui kampus dan sekaligus peletak dasar-dasar strategi dakwah kampus. Selanjutnya, lahirlah LDK yang kemudian banyak bergerilya di dalam kampus. Kehadiran LDK tersebut terbukti telah menyumbangkan berbagai kemajuan umat Islam, misalnya lembaga ini bekerjasama dengan DDII banyak mengusahakan pembangunan masjid di sekitar kampus guna dipakai untuk berbagai aktivitas dakwah.


Selanjutnya, gerakan Tarbiyah membangun banyak lembaga, seperti lembaga pendidikan Nurul Fikri, lemaga dakwah Khoiru Ummah, kelompok kesenian nasyid, dan majalah Sabili. Selain itu, gerakan Tarbiyah juga menyebarkan berbagai gagasan dan pemikiran mereka melalui buku-buku yang diterbitkan antara lain oleh penerbit Gema Insani Press (GIP), Pustaka Al-Kautsar, Era Intermedia, dan Asy-Syamiil.


Pada pertengahan tahun 1998, rezim Orde Baru pimpinan Soeharto tumbang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para aktivis Tarbiyah. Setelah berdiskusi cukup alot dan dalam waktu yang cukup lama, akhirnya mereka memutuskan untuk berdakwah dan berjuang lewat jalur politik. Akhirnya, pada agustus 1998, para aktivis Tarbiyah mendirikan Partai Keadilan (PK), sebuah parpol yang berasaskan Islam.


Selang setahun pasca-didirikan, parpol ini berasil mengikuti pemilu dan mampu menjaring 1.436.565 suara atau sekitar 1,36% dari keseluruhan jumlah suara dan menempatkan tujuh wakilnya di DPR.


Pada Pemilu 2004, parpol yang semula bernama PK kemudian berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pada tahun 2002 ini, mampu meningkatkan jumlah suara secara signifikan. Pada Pemilu 2004 tersebut, PKS meraih 8.325.020 suara atau sekitar 7,34% dari total suara dan berhasil  mendudukkan 45 wakilnya di DPR. Bahkan mantan Presiden PKS, Hidayat Nur Wahid, berhasil menduduki jabatan Ketua MPR.


Dalam kancah politik, PKS memiliki peran yang signifikan bila dibandingkan dengan parpol baru lainnya. Salah satu hal yang cukup bergema adalah isu-isu parlemen bersih dan kepedulian terhadap kepentingan rakyat. Selain itu, PKS juga kerap menyuarakan isu-isu moral.


PKS yang merupakan kepanjangan tangan dari Partai Masyumi dan banyak terwarnai oleh ideologi perjuangan Ikhwanul Muslimin—sebuah organisasi keagamaan yang didirikan Hasan Al Bana di Mesir dan kemudian berkembang luas ke pelbagai negara—memiliki hidden agenda, yakni mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi Islam. Hal ini bisa diketahui setelah mengamati dan meneliti berbagai agenda dakwah PKS, seperti aktivitas PKS dalam upaya menegakkan sistem pemerintahan Islam dengan pelbagai atributnya.


Upaya PKS tersebut berpotensi melahirkan konflik dengan parpol-parpol lain yang berhaluan nasionalis. Selain itu, syariat Islam tidak mungkin bisa berdiri di Indonesia, karena Indonesia adalah negara majemuk dengan berbagai adat-istiadat, pola pikir, dan kepercayaan (agama) masyarakat.


Secara umum, ideologi keagamaan PKS adalah Islam modernis yang memiliki afiliasi dengan gerakan Wahabi—sebuah gerakan keagamaan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab dari Saudi Arabia. Ciri utama gerakan Wahabi ini adalah upaya menentang keras segala bentuk peribadatan Islam yang dianggap tidak sesuai dengan yang dicontohkan Nabi Muhammad. Sebenarnya, ideologi gerakan Wahabi ini telah berkembang luas di Indonesia sejak awal abd 19, ditandai dengan lahirnya organisasi Muhammadiyah. Organisasi Muhammadiyah ini adalah sebuah organisasi keagamaan yang populer dengan penentangannya terhadap hal-hal yang berbau TBC (tachayul, bid’ah, dan churofat—ejaan lama). Meskipun demikian erakan dakwah PKS ini lebih berbahaya dari gerakan dakwah Muhammadiyah, karena sesungguhnya ideologi keagamaan PKS lebih memiliki keterkaitan yang erat dengan ideologi Ikhwanul Muslimin.


Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi keagamaan yang kontroversial. Kedua tokoh penting Ikhwanul Muslimin, yaitu Hasan Al Bana dan Sayyid Quthb, tewas dibunuh karena gerakan dakwahnya yang dianggap subversif dan mengancam keutuhan negara Mesir. Organisasi ini memang terjun ke politik praktis. Organisasi ini kerap mengkritik hebat kebijakan pemerintah yang mereka anggap bertentangan dengan aturan Islam. Organisasi ini juga dituduh ikut serta dalam upaya penggulingan pemerintahan Mesir dengan cara melakukan penculikan tokoh-tokoh Mesir, pengeboman, dan penggalangan massa untuk melawan pemerintah. Akibatnya, organisasi ini ditekan habis-habisan oleh pemerintah Mesir, bahkan tokoh-tokohnya ditangkap dan dihukum mati.


PKS itu berbahaya, karena secara tegas PKS menyatakan bahwa dirinya adalah anak ideologis Ikhwanul Muslimin (IM). Keberadaan PKS dianggap mampu mengganggu stabilitas Indonesia sebagaimana IM yang mengganggu stabilitas Mesir.


Hambatan-hambatan PKS dalam upayanya mendirikan negara Islam di Indonesia, di antaranya semangat PKS untuk memperjuangkan Islam melalui gerakan politik, telah menimbulkan ketegangan dan jarak dengan agama lain. Tumbuhnya kecurigaan dan permusuhan dengan agama lain juga turut merenggangkan hubungan ini. Selain itu, di kalangan PKS sendiri berkembang pesat klaim kebenaran (truth claim) kelompok. Hal ini menyebabkan PKS cenderung intoleran terhadap perbedaan keislaman dengan golongan lain. Menghadapi hambatan-hambatan tersebut, pada akhirnya terjadi pergeseran agenda politik PKS, dari semula untuk mendirikan negara Islam berubah menjadi mewujudkan masyarakat yang Islami dalam wadah NKRI yang majemuk.


Sumber: Buku Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Penulis: M. Imdadun Rahmat. Buku ini sangat layak baca dan dikoleksi. Dapatkan di Toko buku terdekat dengan harga kisaran Rp. 58.000)


 




Mengungkap Ideologi PKS

Siapa Mengenal Dirinya, Maka Akan Mengenal Tuhannya



Apa pengertian kalimat, “Siapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.”


Pengertian kalimat “Siapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya” yang tersebut dalam Atsar, ialah mengenal diri sendiri merupakan salah satu cara mengenal Allah swt. apabila manusia seperti kita merenungi kelemahan dirinya, keterbatasannya, kebutuhannya dan ketidakberdayaannya mengambil kemanfaatan untuk dirinya serta menghindarkan bahaya darinya, maka ia akan mengetahui ia mempunyai Tuhan dan Pencipta yang mandiri dalam menciptakannya, mandiri dalam membantunya, mengatur dan mengendali-kannya, kemudian ia sadar bahwa ia hanyalah seorang hamba yang serta terbatas dan semua persoalanna di tangan lainnya, yang tiada lain adalah Allah, Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana.



Demikian juga halnya manusia jika mau berfikir tentang permulaan penciptaannya; ia asalnya tidak ada, lalu diwujudkan oleh Allah swt. dengan kemurahan-Nya, Allah menciptakannya dari setetes air hina dan nuthfah (zigot) yang busuk, kemudian membentuknya, membuka pendengaran dan penglihatannya hingga menjadikannya dalam bentuk yang sangat baik, memperindahnya dengan sifat-sifat mulia dan derajat-derajat yang tinggi baik bersifat keagamaan maupun keduniawian.


Allah swt. telah berfirman:


“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.”


“Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).”


“Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. al-Mu’minun: 12-14).


(Ajwibat al Ghaliyah fii Aqidah al Firqat an Najiyah, al Habib Zain bin Smith)



Siapa Mengenal Dirinya, Maka Akan Mengenal Tuhannya

Wanita Sholihah Berbicara Dengan Bahasa Al-Qur'an




Berkata Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala : Saya berangkat menunaikan Haji ke Baitullah Al-Haram, lalu berziarah ke makam Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. Ketika saya berada di suatu sudut jalan, tiba-tiba saya melihat sesosok tubuh berpakaian yang dibuat dari bulu. Ia adalah seorang ibu yang sudah tua. Saya berhenti sejenak seraya mengucapkan salam untuknya. Terjadilah dialog dengannya beberapa saat.Dalam dialog tersebut wanita tua itu , setiap kali menjawab pertanyaan Abdulah bin Mubarak, dijawab dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Walaupun jawabannya tidak tepat sekali, akan tetapi cukup memuaskan, karena tidak terlepas dari konteks pertanyaan yang diajukan kepadanya.


Abdullah : “Assalamu’alaikum warahma wabarakaatuh.”


Wanita tua : “ Salaamun qoulan min robbi rohiim.” (QS. Yaasin : 58) (artinya : “ Salam sebagai ucapan dari Tuhan Maha Kasih”)


 Abdullah : “Semoga Allah merahmati anda, mengapa anda berada di tempat ini?”


 Wanita tua : “Wa man yudhlilillahu fa la hadiyalahu.” (QS : Al-A’raf : 186 ) (”Barang siapa disesatkan Allah, maka tiada petunjuk baginya”)


Dengan jawaban ini, maka tahulah saya, bahwa ia tersesat jalan.                                                                                                                                  Abdullah : “Kemana anda hendak pergi?”


Wanita tua : “Subhanalladzi asra bi ‘abdihi lailan minal masjidil haraami ilal masjidil aqsa.” (QS. Al-Isra’ : 1) (”Maha suci Allah yang telah menjalankan hambanya di waktu malam dari masjid haram ke masjid aqsa”)


Dengan jawaban ini saya jadi mengerti bahwa ia sedang mengerjakan haji dan hendak menuju ke masjidil Aqsa.


Abdullah : “Sudah berapa lama anda berada di sini?”


Wanita tua : “Tsalatsa layaalin sawiyya” (QS. Maryam : 10) (”Selama tiga malam dalam keadaan sehat”)


Abdullah : “Apa yang anda makan selama dalam perjalanan?”


Wanita tua : “Huwa yut’imuni wa yasqiin.” (QS. As-syu’ara’ : 79) (”Dialah pemberi aku makan dan minum”)


Abdullah : “Dengan apa anda melakukan wudhu?”


Wanita tua : “Fa in lam tajidu maa-an fatayammamu sha’idan thoyyiban” (QS. Al-Maidah : 6) (”Bila tidak ada air bertayamum dengan tanah yang bersih”)


Abdulah : “Saya mempunyai sedikit makanan, apakah anda mau menikmatinya?”


Wanita tua : “Tsumma atimmus shiyaama ilallaiil.” (QS. Al-Baqarah : 187) (”Kemudian sempurnakanlah puasamu sampai malam”)


Abdullah : “Sekarang bukan bulan Ramadhan, mengapa anda berpuasa?”


Wanita tua : “Wa man tathawwa’a khairon fa innallaaha syaakirun ‘aliim.” (QS. Al-Baqarah : 158) (”Barang siapa melakukan sunnah lebih baik”)


Abdullah : “Bukankah diperbolehkan berbuka ketika musafir?”


Wanita tua : “Wa an tashuumuu khoirun lakum in kuntum ta’lamuun.” (QS. Al-Baqarah : 184) (”Dan jika kamu puasa itu lebih utama, jika kamu mengetahui”)


Abdullah : “Mengapa anda tidak menjawab sesuai dengan pertanyaan saya?”


Wanita tua : “Maa yalfidhu min qoulin illa ladaihi roqiibun ‘atiid.” (QS. Qaf : 18) (”Tiada satu ucapan yang diucapkan, kecuali padanya ada Raqib Atid”)


Abdullah : “Anda termasuk jenis manusia yang manakah, hingga bersikap seperti itu?”


Wanita tua : “Wa la taqfu ma laisa bihi ilmun. Inna sam’a wal bashoro wal fuaada, kullu ulaaika kaana ‘anhu mas’ula.” (QS. Al-Isra’ : 36) (”Jangan kamu ikuti apa yang tidak kamu ketahui, karena pendengaran, penglihatan dan hati, semua akan dipertanggung jawabkan”)


Abdullah : “Saya telah berbuat salah, maafkan saya.”


Wanita tua : “Laa tastriiba ‘alaikumul yauum, yaghfirullahu lakum.” (QS.Yusuf : 92) (”Pada hari ini tidak ada cercaan untuk kamu, Allah telah mengampuni kamu”)


Abdullah : “Bolehkah saya mengangkatmu untuk naik ke atas untaku ini untuk melanjutkan perjalanan, karena anda akan menjumpai kafilah yang di depan.”


Wanita tua : “Wa maa taf’alu min khoirin ya’lamhullah.” (QS Al-Baqoroh : 197) (”Barang siapa mengerjakan suatu kebaikan, Allah mengetahuinya”) Lalu wanita tua ini berpaling dari untaku, sambil berkata : Wanita tua : “Qul lil mu’miniina yaghdudhu min abshoorihim.” (QS. An-Nur : 30) (”Katakanlah pada orang-orang mukminin tundukkan pandangan mereka”)


Maka saya pun memejamkan pandangan saya, sambil mempersilahkan ia mengendarai untaku. Tetapi tiba-tiba terdengar sobekan pakaiannya, karena unta itu terlalu tinggi baginya. Wanita itu berucap lagi.


Wanita tua : “Wa maa ashobakum min mushibatin fa bimaa kasabat aidiikum.” (QS. Asy-Syura’ 30) (”Apa saja yang menimpa kamu disebabkan perbuatanmu sendiri”)


Abdullah : “Sabarlah sebentar, saya akan mengikatnya terlebih dahulu.”


Wanita tua : “Fa fahhamnaaha sulaiman.” (QS. Anbiya’ 79) (”Maka kami telah memberi pemahaman pada nabi Sulaiman”)


Selesai mengikat unta itu sayapun mempersilahkan wanita tua itu naik.


Abdullah : “Silahkan naik sekarang.”


Wanita tua : “Subhaanalladzi sakhkhoro lana hadza wa ma kunna lahu muqriniin, wa inna ila robbinaa munqolibuun.” (QS. Az-Zukhruf : 13-14) (”Maha suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini pada kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Sesungguhnya kami akan kembali pada tuhan kami”)


Sayapun segera memegang tali unta itu dan melarikannya dengan sangat kencang. Wanita tua itu berkata lagi. Wanita tua : “Waqshid fi masyika waghdud min shoutik” (QS. Lukman : 19) (”Sederhanakan jalanmu dan lunakkanlah suaramu”)


Lalu jalannya unta itu saya perlambat, sambil mendendangkan beberapa syair, Wanita tua itu berucap.


Wanita tua : “Faqraa-u maa tayassara minal qur’aan” (QS. Al- Muzammil : 20) (”Bacalah apa-apa yang mudah dari Al-Qur’an”)


Abdullah : “Sungguh anda telah diberi kebaikan yang banyak.”


Wanita tua : “Wa maa yadzdzakkaru illa uulul albaab.” (QS Al-Baqoroh : 269) (”Dan tidaklah mengingat Allah itu kecuali orang yang berilmu”)


Dalam perjalanan itu saya bertanya kepadanya. Abdullah : “Apakah anda mempunyai suami?”


Wanita tua : “Laa tas-alu ‘an asy ya-a in tubda lakum tasu’kum” (QS. Al-Maidah : 101) (”Jangan kamu menanyakan sesuatu, jika itu akan menyusahkanmu”)


Ketika berjumpa dengan kafilah di depan kami, saya bertanya kepadanya.


Abdullah : “Adakah orang anda berada dalam kafilah itu?”


Wanita tua : “Al-maalu wal banuuna zinatul hayatid dunya.” (QS. Al-Kahfi : 46) (”Adapun harta dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia”)


Baru saya mengerti bahwa ia juga mempunyai anak.


Abdullah : “Bagaimana keadaan mereka dalam perjalanan ini?”


Wanita tua : “Wa alaamatin wabin najmi hum yahtaduun” (QS. An-Nahl : 16) (”Dengan tanda bintang-bintang mereka mengetahui petunjuk”)


Dari jawaban ini dapat saya fahami bahwa mereka datang mengerjakan ibadah haji mengikuti beberapa petunjuk. Kemudian bersama wanita tua ini saya menuju perkemahan.


Abdullah : “Adakah orang yang akan kenal atau keluarga dalam kemah ini?”


Wanita tua : “Wattakhodzallahu ibrohima khalilan” (QS. An-Nisa’ : 125) (”Kami jadikan ibrahim itu sebagai yang dikasihi”) “Wakallamahu musa takliima” (QS. An-Nisa’ : 146) (”Dan Allah berkata-kata kepada Musa”) “Ya yahya khudil kitaaba biquwwah” (QS. Maryam : 12) (”Wahai Yahya pelajarilah alkitab itu sungguh-sungguh”) Lalu saya memanggil nama-nama, ya Ibrahim, ya Musa, ya Yahya, maka keluarlah anak-anak muda yang bernama tersebut. Wajah mereka tampan dan ceria, seperti bulan yang baru muncul. Setelah tiga anak ini datang dan duduk dengan tenang maka berkatalah wanita itu.


Wanita tua : “Fab’atsu ahadaku bi warikikum hadzihi ilal madiinati falyandzur ayyuha azkaa tho’aaman fal ya’tikum bi rizkin minhu.” (QS. Al-Kahfi : 19) (”Maka suruhlah salah seorang dari kamu pergi ke kota dengan membawa uang perak ini, dan carilah makanan yang lebih baik agar ia membawa makanan itu untukmu”)


Maka salah seorang dari tiga anak ini pergi untuk membeli makanan, lalu menghidangkan di hadapanku, lalu perempuan tua itu berkata :


Wanita tua : “Kuluu wasyrobuu hanii’an bima aslaftum fil ayyamil kholiyah” (QS. Al-Haqqah : 24) (”Makan dan minumlah kamu dengan sedap, sebab amal-amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang telah lalu”)


Abdullah : “Makanlah kalian semuanya makanan ini. Aku belum akan memakannya sebelum kalian mengatakan padaku siapakah perempuan ini sebenarnya.”


Ketiga anak muda ini secara serempak berkata : “Beliau adalah orang tua kami. Selama empat puluh tahun beliau hanya berbicara mempergunakan ayat-ayat Al-Qur’an, hanya karena khawatir salah bicara.”


Maha suci zat yang maha kuasa terhadap sesuatu yang dikehendakinya. Akhirnya saya pun berucap : “Fadhluhu yu’tihi man yasyaa’ Wallaahu dzul fadhlil adhiim.” (QS. Al-Hadid : 21) (”Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendakinya, Allah adalah pemberi karunia yang besar”)


by Al Faqir Ahmad



Wanita Sholihah Berbicara Dengan Bahasa Al-Qur'an

Siapakah Yang Senantiasa Didoakan oleh Para Malaikat?






Orang-orang Yang Didoakan Oleh Para Malaikat


Semoga kita termasuk dalam orang-orang yang mengerjakan amalan dibawah ini. Aamiin.


1.     Orang yang tidur dalam keadaan bersuci. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci”. (Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a.)


2.      Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia” (Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Shahih Muslim no. 469)


3.      Orang-orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang berada pada shaf-shaf terdepan” (Imam Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dari Barra’ bin ‘Azib r.a.)


4.      Orang-orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf). Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf-shaf” (Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah r.a.)


5.      Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu”. (Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Shahih Bukhari no. 782)


6.      Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Para malaikat akan selalu bershalawat ( berdoa ) kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia” (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Al Musnad no. 8106)


7.      Orang-orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah. Rasulullah s.a.w. bersabda, “ Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat (yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat’” (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Al Musnad no. 9140)


8.      Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ r.a., Shahih Muslim no. 2733)


9.      Orang-orang yang berinfak. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’” (Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)


10.  Orang yang sedang makan sahur. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat (berdoa) kepada orang-orang yang sedang makan sahur” Insya Allah termasuk disaat sahur untuk puasa “sunnah “ (Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar r.a.)


11.  Orang yang sedang menjenguk orang sakit. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh” (Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754)


12.  Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily r.a.)


 wallahua’alam.





Siapakah Yang Senantiasa Didoakan oleh Para Malaikat?

Taliban dan Alqaidah Dibuat Untuk Hancurkan Citra Islam



 Kelompok pejuang Taliban dan Alqaidah diduga dibidani Amerika Serikat dan Inggris. Padahal, selama ini kedua kelompok itu digembar-gemborkan menentang AS dan Inggris.


Pernyataan itu dilontarkan anggota anggota parlemen Inggris untuk Bradford West, George Galloway. Ia mengungkapkan dua kelompok tersebut sengaja diciptakan sebagai ‘senjata’ untuk menghancurkan citra Islam.


“Alqaidah ada di Afghanistan karena kami yang mengirim mereka ke sana. Kami mempersenjatai dan membiayai mereka. Kemudian, kami memanggilnya pahlawan dan pejuang kemerdekaan,” kata Galloway seperti dikutip dari Press TV.


Galloway juga menuduh Pemerintah Inggris menggunakan kamp di Fort William, Skotlandia sebagai tempat pelatihan teroris Alqaidah. Namun, hingga saat ini Pemerintah Inggris menolak mengomentari tudingan Galloway tersebut.


Ini bukan kali pertama Galloway melontarkan pernyataan kontroversial. Pekan lalu, ia juga mengungkapkan Inggris dan AS telah mempersenjatai sekelompok orang untuk ikut terlibat dalam kerusuhan penentangan film ‘Innocence of Muslims’ dan membunuh duta besar AS di Libya, Selasa (11/9) kemarin.


“AS dan Inggris memiliki prinsip: musuhku adalah temanku. Adanya teroris internasional di Afghanistan karena Inggris dan Amerika yang mengirim mereka pada 1980-an untuk melawan Uni Soviet,” bebernya.


Kelompok gerilyawan itu, kata Galloway, sudah tidak di Afghanistan, tapi kini  mereka di Suriah. “Inggris dan Amerika-lah yang telah mengirim mereka,” sebutnya.


Terkait insiden 11 September, Galloway menyebut peristiwa itu sebagai ‘konspirasi’. Ia mengatakan sekelompok orang telah dilatih AS untuk dijadikan teroris. “Mereka diajari bagaimana cara menerbangkan pesawat dan menabrakkan ke menara kembar tersebut,” paparnya. (Sumber: http://www.republika.co.id/)



Taliban dan Alqaidah Dibuat Untuk Hancurkan Citra Islam

Tuduhan "Penyembah Kuburan" pada Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki



Sayyid muhammad almalikiDiantara tokoh karismatik yang menjadi sasaran tembak kaum wahabi untuk dirusak reputasinya dengan alasan terjerumus dalam berbagai lumpur bid’ah dan syirik, adalah Sayyid Muhammad al-Maliki, yang memiliki banyak pengikut dan murid yang tersebar diberbagai penjuru Indonesia. Oleh karena reputasi keduanya sangat harum dan pengaruhnya cukup besar di Indonesia, kaum wahabi berusaha merusak citra beliau dengan menyebarkan buku yang isinya menghujat pribadi keduanya secara ideologis, bahwa beliau terjerumus dalam lumpur bid’ah dan kesyirikan.


Dalam kitab Hadzihi Mafahimuna, Shalih alu- Syaikh, berusaha menyematkan stigma negatif kepada al-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dengan melakukan kritik terhadap hadits-hadits terkait ma­salah tawasul. Diantaranya dengan mengatakan bahwa al-Sayyid Muhammad sebagai penyembah kuburan dikarenakan beliau menganjurkan ziarah kubur dengan menulis bab khusus masalah ziarah dalam kitab-nya Mafahim Yajibu an Tushahhah.


Tuduhan seperti ini tentu sangat rapuh secara ilmiah, karena tidak sedikit para ulama yang menulis risalah yang membahas ma­salah keadaan orang-orang yang sudah meninggal se­cara khusus, seperti al-Suyuthi dengan Syarh al-Shudur, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Sayyid Abdullah al-Shiddiq al-Gumary dengan Ihya’ al-Maqbur-nya., termasuk Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam salah satu karyanya dengan tajuk al-Ruh. Dalam kitab tersebut, Ibnu Qayyim menjelaskan keadaan orang yang sudah meninggal, dan interaksi yang terjadi oleh sesama mayit yang dianggap khurafat dan berseberangan den­gan keyakinan Ibnu Taimiyah, demikian juga Mu­hammad bin Abdul Wahhab, kakek Shalih al-Syaikh.


Dalam menanggapi realita ini, kelompok Wahabi mengklaim bahwasanya al-Ruh bukanlah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, akan tetapi karya orang lain yang diafiliasikan kepada Ibnu Qayyim. Akan tetapi setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, ternyata mem­buahkan hasil bahwa kitab tersebut adalah karya Ibnu Qayyim sendiri. Dan yang lebih mengherankan, sosok yang melakukan penelitian dan yang menegaskan bahwa kitab tersebut merupakan tulisan Ibnu Qayyim ada­lah ulama Wahabi sendiri, Syaikh Bakar Abu Zaid.


 Dalam hal ini, coba kita perhatikan pernyataan seorang Khatimah al-Muhadditsin, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengatakan:


 “Termasuk pendapat yang paling fatal yang diafiliasikan kepada Ibnu Taimiyah adalah, ketika ia meng­haramkan ziarah ke kubur Nabi SAW”.


 Pernyataan Ibnu Hajar di atas memberikan kesim­pulan bahwa Ibnu Taimiyah sangat gegabah dalam menyimpulkan sebuah hadits berikut:


لا تشدّ الرّحال إلّا إلى ثلاثة مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى


“Tidak dianjurkan bepergian kecuali ketiga masjid, masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha”


Dengan bertendensi kepada hadits di atas, Ib­nu Taimiyah mengharamkan ziarah ke kubur Nabi SAW Padahal pengertian hadits di atas, sebagaimana penda­pat mayoritas ulama hadits adalah, siapa saja yang ber­nazar i’tikaf di salah satu dari tiga masjid yang disebut di atas, maka tidak boleh berpindah ke selain tiga di atas. Dari sini terlihat betapa gegabahnya sikap Ibnu Taimiyah dalam melakukan klaim haram terhadap, zia­rah kubur Nabi SAW.


Bahkan sekalipun mereka beralasan bahwasanya hadits yang menerangkan tentang kebole­han berziarah adalah hadits dhaif, akan tetapi dengan banyaknya riwayat, maka satu dengan yang lainnya sa­ling menguatkan. Hal tersebut senada dengan keteran­gan al-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajibu an Tusahhah.


(Disadur oleh Tim Sarkub dari Buku “Ulama Sunni Dihujat, Sisi Gelap dari Kedangkalan Kaum Wahabi” oleh Muhammad Syafiq Alaydrus dengan beberapa perubahan seperlunya)



Tuduhan "Penyembah Kuburan" pada Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki

Jawaban Untuk Majalah Wahabi: (1) Sanad Periwayatan Kisah Taubatnya Syaikh Ibn Sa'di




SERIAL JAWABAN UNTUK MAJALAH WAHABI


Berawal dari terbitnya buku “Pintar Berdebat dengan Wahhabi” yang ditulis oleh Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang salah satu isinya menceritakan kisah debat terbuka di Masjidil Haram antara Sayyid Alwiy al-Maliki (ayah dari Sayyid Muhammad bin Alwiy Al-Maliki) dengan Syaikh Ibn Sa’di (guru dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin). Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abul Fattah Rawah dalam kitabnya yang berjudul al-Masha’id al-Rawiyah ila al-Asanid wa al-Kutub wa al-Mutun al-Mardhiyyah ketika menulis biografi al-Imam as-Sayyid Alwiy al-Maliki. Silahkan baca selengkapnya kisah ini di www.sarkub.com/2011/ulama-wahabi-ikut-ngalab-berkah/ .


Kisah ini cukup membuat kaum wahabi kalang kabut hingga kemudian Syaikh Mamduh, ulama wahabi di Makkah yang pernah tinggal di Indonesia, memberikan sanggahan atas kisah dialog di atas dan diterbitkan oleh salah satu majalah wahabi di Indonesia, Qiblati .



 Dalam artikel bantahan Syaikh Mamduh terhadap kisah dialog terbuka di Masjidil Haram, ia menulis pembahasannya dalam sepuluh bagian. Pada bagian pertama, Syaikh Mamduh berkata:


“Tidak ditemukan sanad shahih lagi terpercaya yang sambung sampai kepada as-Sayyid Alwiy Maliki secara langsung.” (Qiblati, hal. 10)


 Adanya majalah yang memberikan sanggahan tersebut membuat kami kembali memberikan jawabannya. Hal ini dilakukan agar tidak ada keraguan di kalangan Muslimin bahwa ajaran Wahhabi memang benar-benar bathil dan harus diwaspadai.


 Syaikh Mamduh, tidak mungkin menemukan sanad shahih yang sambung sampai kepada as-Sayyid Alwiy Maliki, karena Syaikh Mamduh sebagai penga­nut setia aliran Wahabi tidak pernah mencari sanad kisah di atas dengan sungguh-sungguh, dan Syaikh Mamduh memang hanya berguru kepada para ulama Wahabi saja. Syaikh Mamduh tidak berguru kepada ulama Sunni seperti as-Sayyid Alwiy, Syaikh Abdul Fattah Rawah dan lain-lain. Sebagaimana yang tertulis dalam biografi Syaikh Mamduh yang dimuat dalam situs http://qiblati.com. Dalam profil pribadinya, Syaikh Mamduh hanya mulazamah (belajar secara in­tensif) kepada Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin, dua ulama senior Wahabi yang bertolak bela­kang dengan as-Sayyid Alwiy al-Maliki yang Sunni.


 Syaikh Mamduh menuduh kisah cerita ini tidak shahih dengan berkata:



“As-Syaikh Abdul Fattah Rawah adalah tetangga dekat kami di distrik al-Hujun. Di mana tidak terpisah antara rumah kami den­gan rumah Syaikh kecuali oleh satu rumah saja. Saya sendiri kenal dengan as-Syaikh ra, dan sepanjang hidup saya, saya tidak pernah mendengar darinya, atau dari seorang pun dari penduduk distrik, atau dari murid- murid beliau yang telah menukil kisah ini dari beliau hingga beliau wafat ra.” (Qiblati, hal. 10).



 Pernyataan Syaikh Mamduh di atas justru mele­mahkan argumen beliau sendiri. Karena selama ini, Syaikh Mamduh hanya menjadi tetangga dekat dan kenalan Syaikh Abdul Fattah Rawah, seorang faqih bermadzhab Syafi’i, yang menulis kitab al-Ifshah ‘ala Musail al-Idhah ‘ala Madzhahib al-Aimmah al-Arba’ah dan lain-lain. Syaikh Mamduh tidak berguru kepada Syaikh Abdul Fattah dan tidak membaca karya- karyanya.


 Syaikh Mamduh juga menyatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Syaikh Abdul Fattah mau­pun murid-muridnya yang pernah menceritakan kisah dialog tersebut.


 Tentu saja pernyataan tersebut tidak memiliki bobot ilmiah. Orang yang bertetangga dan kenal dengan seorang ulama, bukan berarti mengetahui seluruh ilmu dan informasi yang dimiliki oleh ulama tersebut.


 Syaikh Mamduh juga berkata:


“Saya telah menelepon putranya, yaitu Ibrahim pada hari Selasa 24 Rabiutstaniy 1423 H/29 Maret 2011, saya bertanya kepadanya, jika dia pernah mendengar kisah ini dari ayahandanya, lalu dia pun menafikannya dari ayahandanya sama-sekali.” (Qiblati, hal. 10).


 Pernyataan ini juga tidak logis. Seorang anak belum tentu mengetahui ilmu yang diketahui oleh ayahnya yang alim. Apalagi hanya seorang kenalan dan tetangga seperti Syaikh Mamduh. Ia tidak mung­kin mengetahui seluruh ilmu dan informasi yang dimiliki oleh Syaikh Abdul Fattah Rawah. Ada sebuah pameo yang sangat populer di kalangan ulama, seperti disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim al- Jauziyah, seorang ulama yang dikagumi oleh kaum Wahabi, berikut ini:


ازهد النّاس في العالم اهله و جير انه وارغبهم فيه البعداء عنه


“Manusia yang paling kurang berminat terhadap ilmu seorang alim adalah keluarga dan tetangganya. Sedangkan yang paling berminat justru mereka yang jauh darinya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Miftah Dar al-Saadah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah Beirut, vol. I, hal. 222)


 Kami sangat percaya terhadap pernyataan Ibnu Qayyim di atas, bahwa keluarga dan tetangga ada­lah orang yang paling tidak berminat terhadap ilmu seorang ulama. Terbukti Syaikh Mamduh tidak me­ngetahui ilmu dan kitab Syaikh Abdul Fattah Rawah yang menceritakan kisah dialog tersebut.


 Seandainya murid-murid Syaikh Abdul Fattah dan putra beliau Ibrahim pernah mendengar kisah tersebut secara langsung dari beliau, mereka tidak wajib dan belum tentu menceritakannya kepada masyarakat di sekitarnya. Apalagi kepada Syaikh Mamduh yang menjadi pengikut setia Wahabi. Bukankah pemerintahan Saudi Arabia sangat tidak demokratis terhadap rakyat yang dianggap melawan ajaran Wahabi, apalagi mempermalukan hujah para ulamanya? Hal yang sama juga dapat terjadi di negara lain maupun dalam waktu yang berbeda. Kaum Sunni di Iran, tidak mungkin secara terang-terangan membeberkan keburukan ajaran Syiah Ima­miyah, karena populasi kaum Sunni yang minoritas di tengah mayoritas masyarakat Syiah yang berkuasa.


Hal semacam ini juga pernah terjadi pada masa-masa generasi sahabat ketika dipimpin oleh Bani Umayah. Al-Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dalam Shahih-nya:


عن أبي هريرة قال حفظت من رسول الله وعاءين فامّا حدهما فبثثته وأمّا الآخر فلوبثثته قطع هذا البلعوم


Dari Abu Hurairah beliau berkata: “Aku telah menghafal dua wadah hadits-hadits dari Rasulullah Yang satu wadah telah aku sebarkan. Sedangkan wadah yang satunya, seandainya aku sebarkan, pasti kepala ini akan dipenggal.” (HR. al-Bukhari: 120).


 Berkaitan dengan konteks di atas, al-Hafizh al- Dzahabi berkata:


وقد قال عليّ: حدّثوا النّاس يما يعرفون، ودعوا ماينكرون. وقد صحّ أنّ أبا هريرة كتم حديثا كثيرا ممّا لا يحتاجه المسلم في دينه، وكان يقول: لوبثثته فيكم لقطع هذا البلعوم، وليس هذا من باب كتمان العلم في شيء


Ali kw telah berkata: “Sampaikan kepada manusia apa yang telah mereka ketahui, dan tinggalkan apa yang mereka ingkari.” Dan telah shahih, bahwa Abu Hurairah ra telah menyembunyikan sekian banyak hadits yang tidak dibutuhkan oleh seorang Muslim dalam agamanya. Ia berkata: “Seandainya aku sebar­kan, tentu kepala ini akan dipenggal.” Hal ini sama sekali bukanlah termasuk dalam bagian menyembunyikan ilmu (yang terlarang).” (al-Hafidz al-Dzahabi, Siyar a’lam al-Nubala’, tahqiq Syuaib al-Arnauth, Muassasah ar-Risalah, Beirut  vol. X hal. 603) 


 Berkaitan dengan hadits-hadits yang disem­bunyikan oleh Abu Hurairah tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari:


وحمل العلماء الوعاء الّذي لم يبثّه على الأحاديث الّتي فيها تبنين أسامي أمراء السّوء واحوا لهم وزمنهم وقد كان أبو هيرة يكنى عن بعضه ولا يصرّح به خوفا على نفسه منهم كقوله أعوذباللّه من رأس السّتّين وإمارة الصّبيان يشير إلى خلافة يزيد بن معاوية لأنّها كانت سنة ستّين من الهجرة واستجاب الله دعاء أبي هريرة فمات قبلها بسنة


Para ulama menafsirkan wadah yang tidak disebarkan oleh sahabat Abu Hurairah terse­but dengan hadits-hadits yang di dalamnya me­nerangkan nama-nama para penguasa jahat, kondisi mereka dan zaman mereka. Abu Hurairah telah menjelaskan sebagian mereka secara implisit (samar), dan tidak menjelas­kannya secara terang-terangan karena khawatir terhadap ancaman mereka, seperti perkataan Abu Hurairah: “Aku berlindung kepada Allah dari permulaan tahun 60, dan kepemimpinan anak kecil.” Abu Hurairah mengisyaratkan pa­da khilafahnya Yazid bin Muawiyah, yang ber­kuasa tahun 60. Allah mengabulkan doa Abu Hurairah, sehingga beliau wafat satu tahun sebelum tahun 60 H.” (al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut,  1379, vol I, hal. 216)


 Apabila pada masa salaf yang saleh, seorang ulama sekalipun itu sahabat Abu Hurairah perawi yang telah dipercaya oleh umat Islam, tidak berani menyebarkan separuh dari ilmunya, karena faktor keamanan. Apalagi masa sekarang, yang sudah jauh dari masa salaf yang saleh dan kebenaranpun dapat dibeli dengan uang oleh penguasa.


 Seandainya Syaikh Mamduh membaca tulisan Syaikh al-Azhari tentang kisah perdebatan Sayyid Alwiy dengan Syaikh Ibnu Sa’di dengan lebih teliti, kami kira Syaikh Mamduh tidak akan memper­soalkan sanad riwayat kisah dialog tersebut.


 Syaikh al-Azhari telah menjelaskan, bahwa beliau menerima riwayat di atas dari Syaikh Abdul Wakil bin Abdul Haqq al-Hasyimi dari ayahnya dan dari Syaikh Abdul Fattah Rawah al-Makki yang beliau tulis dalam kitab tsabat-nya, yang berjudul al-Masha’id al-Rawiyah ila al-Asanid wa al-Kutub wa al-Mutun al-Mardhiyyah ketika menulis biografi al-Imam as-Sayyid Alwiy al-Maliki.


 Dengan demikian, sanad kisah perdebatan di atas sangat terang benderang, laksana waktu siang hari ketika langit tidak tertutup awan. Tidak ada celah untuk meragukan kesahihan sanad kisah di atas. Lebih-lebih Syaikh Abdul Fattah Rawah, termasuk salah satu murid as-Sayyid Alwiy al-Maliki yang dipercaya.


 Dari sini, kita patut bertanya: “argumentasi sia­pakah yang sebenarnya layak dibacakan takbir empat kali? Apakah argumen kami, atau justru argumen Syaikh Mamduh?” Sepertinya Syaikh Mamduh agak terpengaruh dengan kaum Syiah dengan memainkan metode taqiyah dalam upaya menepis riwayat kelompok yang menjadi lawan ideologinya. Astaghfirullahal azhim!.


(Dipublikasikan kembali oleh Tim Sarkub dari Buku Debat Terbuka Sunni vs Wahabi di Masjidil Haram karya Ustadz Muhammad Idrus Ramli, dengan perubahan dan tambahan penjelasan seperlunya.)


 


 



Sayyid Alwiy al-Maliki

Sayyid Alwiy al-Maliki




Syaikh Ibn Sa'di

Syaikh Ibn Sa'di






Jawaban Untuk Majalah Wahabi: (1) Sanad Periwayatan Kisah Taubatnya Syaikh Ibn Sa'di

Kyai Ngewes dan Santri Ngowos di Pesantren Wes Hewes



Setelah sekian lama belajar menimba ilmu di “Pesantren Wes Hewes“, Santri Ngowos merasa ilmunya masih dangkal alias cekak. Dan ia mencium adanya diskriminasi, karna selama ini yang diajarkan kepadanya cuma ilmu biasa biasa aja. Suatu hari Santri Ngowos nekad menemui sang guru mengadu seraya protes kepada Kyai Ngewes, terjadi dialog sebagai berikut:


Santri Ngowos: “Yai…, mbok saya ini diajari ilmu tingkat tinggi kayak santri – santri lainnya gitu loch…!”


Kyai Ngewes: “Maksud loooh…!?”


Santri Ngowos: “Mbok saya diajari semacam ilmu yang bisa menerawang aura orang, membaca pikiran orang, ilmu kanuragan, ilmu rogo sukmo, ilmu suwuk, ajian kebal bacok, mengusir jin dan sejenisnya lah…”


Kyai Ngewes: “Kamu gak pantas mendapat ilmu tingkat tinggi macam gitu… Kamu akan saya ajari ilmu tingkat rendah  saja yaa… tingkat paaaliiing rendah.. hehehehe”


Santri Ngowos : “Kok geto cih..! emang ilmu rendahan gitu buat apaan, Yai?”


Kyai Ngewes: “Hekekeks…..dengar dulu… ilmu terendah itu adalah SUJUD….  sujud sampai di dalam keningmu tak ada lagi gambaran apa – apa…. tak ada lagi gambaran jin, ilmu hipnotis, ilmu pelet, ilmu gendam,  wangsit dan sejensinya… wes hewes bablas.. habis biiiis…. La ilaha ilallah… Tidak ada apa – apa sama sekali… babar blas…!

Sampe bathinmu tiba-tiba berteriak dengan keras: “Subhana rabbiyal a’la wabihamdih” (Maha Suci Allah dan Maha Tinggi). Sehingga segala alammu tak mampu melampaui, selain engkau disucikan dan ditinggikan oleh Yang Maha Suci dan Maha Tinggi itu sendiri…

Hingga engkau berada di wilayah Al A’raf tersembunyi Yang Suci.. …

Hingga engkau dimampukan memandang suatu kejadian dengan cara pandang lebih luas dan disirnakan persangkaan buruk atas segala kejadian agung yang sedang digelar ini…. itulah yang dimaksud karimal ahlaq, sempurnanya dialog Tuhan atas manusia dalam lelaku  Agung awal penciptaan Adam yang tak mampu dijawab oleh Jibril


Dan di situlah maksud… La haula wala quwwata ila billah..

yang tak bisa lagi kau bantah dengan akalmu yang selalu merasa bisa ini.. bisa itu…

padahal sesungguhnya dirimu gak bisa apa-apa secuil pun… rendah…! gak ada harganya… fana…!..


mau gak ilmu itu?”


Santri Ngowos:  ” Sendiko dawuuh….  Nggiih…, mau, yai….”…


(Wangsit Wejangan By:  Angin Semilir)



Kyai Ngewes dan Santri Ngowos di Pesantren Wes Hewes

Perlunya Dibentuk Jaringan Aswaja Nusantara



Konflik antarormas Islam yang terjadi belakangan ini menjadi perhatian penting bagi Pengurus Wilayah (PWNU) Jawa Timur. Peristiwa sengketa agama di Sampang, antara pengikut Syiah dan warga Nahdliyyin merupakan contohnya.


Dari sudut pandang ini, PWNU Jatim mengkampanyekan penguatan kader di tingkat pengurus struktural dan kader NU. Hal ini disampaikan oleh KH. Idrus Ramli, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jember, Jawa Timur, Ahad (16/9) di agenda Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU, di Pesantren Kempek, Cirebon. 


Menurut Kiai Idrus, kader-kader nahdliyyin perlu mengupayakan strategi untuk kampanye ide-ide Aswaja, terutama di tengah persaingan dengan ormas-ormas lain di Indonesia.


“Kita ini citranya kalah di hadapan aktifis ormas-ormas yang lain. Orang Wahabi itu, sampai saat ini, berhasil membangun citra sebagai ahli hadits, meskipun mereka hanya mengulang-ulang hadist yang sama di setiap forum,” ujar Kiai Idrus.


Strategi orang Wahabi, lanjut alumni pesantren Sidogiri ini, yakni setiap bicara, mereka mengulang ucapan qola Rasulullah terus. “Nah, inilah yang menjadi perhatian penting kita”.


Menurut Kiai Idrus, ada dua alasan yang menjadikan kader NU tidak siap dalam menyampaikan materi aswaja. “Pertama, gagasan ahlussunnah waljama’ah tidak disampaikan secara sistematis, argumentasi yang dibangun tidak kokoh. Kedua, kita sebagai orang NU tidak punya media,” ungkap Kiai Idrus.


Dari kondisi ini, PCNU Jember atas inisiasi Kiai Idrus, mengembangkan ‘Aswaja Center’ sebagai wadah untuk memberikan pemahaman dan pelatihan kepada kader nahdliyyin tentang nilai-nilai aswaja.


“Awalnya, aswaja center dibentuk di Jember pada tahun 2005. Kebetulan Ketua PCNU Jember, KH. Muhyiddin Abdusshomad sangat mendukung ide ini. Dari sinilah, diselenggarakan pelatihan-pelatihan aswaja untuk pengurus dan kader NU, ungkap Kiai Idris.


Selanjutnya, tambah Kiai Idris, “pada tahun 2010, PWNU Jawa Timur mengundang Rais dan Katib Syuriyah di tiap-tiap cabang untuk mengikuti pelatihan aswaja selama tiga. Setelah itu, dibentuklah Aswaja Center di seluruh cabang di Jawa Timur.”


Dengan menggunakan media Aswaja Center, Kiai Idris sering diminta mengisi pelatihan-pelatihan tentang nilai-nilai dan konsep gerakan aswaja di NTB, Balikpapan, Magelang, Pekalongan dan Jambi. “Saya sering diminta untuk bicara dan memberikan pelatihan kepada kader-kader Nahdliyyin di beberapa PCNU”.


Kiai Idris kemudian mengusulkan agar dibentuk jaringan aswaja Nusantara. “Saya sudah usul ke PBNU, juga lewat PWNU Jatim, agar dibentuk tim pelatihan yang mampu memberikan pemahaman dan membekali kader-kader NU seluruh Indonesia.”


Menanggapi usul ini, Rais Syuriah PBNU, KH. Ishomuddin, menyatakan setuju dengan usulan PWNU Jatim dan ide Kiai Idrus. “Saya sepenuhnya setuju, dan nanti akan disampaikan untuk rapat kebijakan PBNU,” terang Kiai Ishom.  (Sumber: http://www.nu.or.id/)



Perlunya Dibentuk Jaringan Aswaja Nusantara
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS