Pengunjung

Powered by Blogger.

Seguidores

Artikel Disarankan

Bahaya Ilmu Tafsir Cingkrang



Surat al-Ma’idah: 44, salah satu ayat yang disalahgunakan untuk melegalkan aksi  para teroris atas nama agama; mereka sengaja manipulasi makna kandungan ayat tersebut untuk mencuci otak & rekrut anggota. Waspada…. jangan sampai anda terjebak…!!!
Firman Allah yang dimaksud adalah:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)……
 ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat, yang mengandungi petunjuk dan cahaya yang menerangi; dengan Kitab itu nabi-nabi yang menyerah diri (kepada Allah) menetapkan hukum bagi orang-orang Yahudi, dan (dengannya juga) ulama mereka dan pendita-penditanya (menjalankan hukum Allah), sebab mereka diamanahkan memelihara dan menjalankan hukum-hukum dari Kitab Allah (Taurat) itu, dan mereka pula adalah menjadi penjaga dan pengawasnya (dari sebarang perubahan). Oleh itu janganlah kamu takut kepada manusia tetapi hendaklah kamu takut kepadaKu (dengan menjaga diri dari melakukan maksiat dan patuh akan perintahKu); dan janganlah kamu menjual (membelakangkan) ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit (kerana mendapat rasuah, pangkat dan lain-lain keuntungan dunia); dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah (kerana mengingkarinya), maka mereka itulah orang-orang kafir.”
——–
Para ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim “kafir” secara mutlak terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama], akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah. Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?! Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman Allah di atas tidak boleh dipahami secara harfiyah“Barangsiapa tidak memakai hukum Allah maka ia adalah orang kafir”, pemahaman harfiyah semacam ini salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:
“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi). Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].
Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.
Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;
1. Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti] yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Islam.

2. Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm Munasabat al-Ayat].
Kemudian diriwayatkan bahwa sahabat Hudzifah ibn al-Yaman suatu ketika ditanya tentang ayat 44 ini; “Apakah yang dimaksud oleh ayat ini adalah Bani Isra’il?” sahabat Hudzaifah menjawab menjawab; “Benar, ayat itu tentang Bani Isra’il”.
Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah benar-benar mengeluarkannya dari Islam.
Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].
Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata: “Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”. Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam.
Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)
(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.
“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)
Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh….”. Artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Yang ironis adalah ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini oleh beberapa komunitas yang mengaku gerakan keislaman seringkali dipakai untuk mengklaim kafir terhadap orang-orang yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang hidup dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al Kufr. Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia. pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??
Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18
Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma’idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.
Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah atau letterleg alias tafsir cingkrang saja. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda menanamkan “akar terorisme” pada diri anda…!!! Hati-hati…!!!

Tafdhil (Mengutamakan Sahabat Nabi)

Oleh : Habib Muhammad Luthfi bin Yahya
Tafdhil sahabat adalah mengutamakan urutan yang tepat di antara mana yang harus didahulukan dan tepat kalau didahulukan. Dengan mengakhirkan salah satunya bukan berarti merendahkan atau mengurangi keutamaan yang terakhir. Semisal Imam Ali bin Abi Thalib. Sesuai urutan. Kalau saya contohkan orang mempunyai anak empat. Setelah tidak ada orang tuanva. Famili-famili sepakat bahwa pengganti orang tuanya adalah kakak pertama. Bukan berarti menyepelekan adiknya,sekalipun adiknya lebih pandai, lebih alim. Bukan berarti tnemojokan adiknya yang alim. Tapi semata-mata atas dasar ketuaannya, yang telah banyak makan asam garam dalam menialani kehidupan. Jadi sekali lagi satu atas dasar lebih lua, yang kedua dia anak pertama.

HTI Galau


 thoghut

Seorang aktivis HTI berkata keras dengan penuh emosi: "Indonesia ini negara thoghut. Dasar negaranya bukan Al-Qur'an tapi Pancasila. Sumber hukumnya bukan Hadist, tapi UUD 1945. Lambangnya bukan kalimat tauhid, tapi Garuda Pancasila. Tolak negara ini, jangan taati pemerintahnya. Dirikan khilafah di bumi nusantara, tegakkan syariah secara sempurna".
Seorang temanku yang gampang emosi di forum itu, lantas menimpali: "Anda ini telah berzina sekian lama. Anak-anak dan istri Anda itu haram dan tidak sah sebagai keluarga Anda. Karena Anda menikah di Indonesia dan disahkan oleh pemerintah Indonesia. Buku nikah Anda bergambar Garuda Pancasila. Jelas sekali itu tidak sah, jadi Anda dan semua kelompok Anda yang telah menikah, sesungguhnya berzina. "

Kesederhanaan Syekh Abdul Malik


Dahulu setiap ada acara Maulid Nabi di Pekalongan, kami selalu mengkhususkan sowan ke kediaman Habib Luthfi Yahya di jl Noyontaan. Di ruang khususnya banyak terdapat gambar-gambar para ulama seperti Gus Dur, Syech Alwi Almaliki, dan yang menjadi perhatian kami adalah sosok sederhana, tatapan mata yang tajam, dan senyum yang tulus yaitu Syekh Abdul Malik. Pada saat itu Habib Luthfi bercerita bahwa beliau adalah guru mursyid Thariqahnya.

Baiklah, mari kita sama-sama membaca SIAPA sebenarnya sosok beliau, dan BAGAIMANA beliau berdakwah di negeri Jawa ini?

Beliau adalah sosok ulama yang cukup di segani di kebumen propinsi jawa tengah, Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.

Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.
Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.
Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaituAl-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”

Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto.
Sumber : barokahwali.blogspot.com

Nikah Via Internet



KH. Hasyim Muzadi sewaktu masih ketua PWNU Jatim, pada tahun 1995 hadir di sebuah pondok pesantren sebagai pembicara. Beliau bercerita, bahwa ada bahsul masail yang pertanyaannya: Bolehkah, sahkah, menikah lewat intenet? Kata beliau, para kyai saat itu bingung, internet itu makanan apa,  gak ada yang mengerti.


Maklum tahun 1995 internet masih asing, lantas seorang narasumber dari jakarta memberi keterangan bahwa internet itu “Semua orang bisa berhubungan langsung, berkomunikasi tatap muka juga bisa langsung walau berjauhan tempatnya. Jadi di forum bahsul masail itu lantas dibahas: 


“Misal pengantin pria di Jawa, mempelai wanita di Madura, saksi I di Kalimantan, Saksi II di Sulawesi, Wali di Papua dan petugas pencatat nikah di SUmatera, mereka bisa melangsungkan akad nikah, APAKAH SAH? apa boleh nikah yang demikian?Seluruh peserta bahsul masail riuh. semua saling berbicara dengan orang sebelahnya. bergemuruh tapi tak ada yg menyampaikan pandangan secara resmi sebagai delegasi. mic di tangan panitia tak disentuh. sejurus kemudian seluruh kitab yg disediakan panitia dibuka. mencari ta’bir yg barangkali ada. sekian kitab dibolak-balik, semua qoul diperiksa, tak ketemu jawaban yg pas.Yang kemudian muncul justru perdebatan. Apakah nikah harus dalam satu majlis? lalu apakah satu majlis itu harus dalam satu ruangan? bisakah ditafsirkan satu majlis itu boleh dalam satu forum model interaktif ala internet itu?Hadirin tak ada yg bisa menjawab. pemimpin sidang tak juga bisa memberi ulasan soal fi majlisin wahidin tsb.

.

Sampai akhirnya, KH Hasyim Muzadi tak betah lantas mengeluarkan veto:”Ya Sudah. gini saja keputusannya. Boleh Nikah lewat internet, asal njimaknya (berhubungan red.) juga lewat intenet!”….

.


“Hhuuu…….” gemuruh suara hadirin jadi ramai…… lalu ada seorang yg menyeletuk:


“Wah, lha piye Kyai. Njimak lewat internet itu apa gak mbulet di kabel-kabel gitu? nek kesetrum listrik piye? lak pruthul..” GERRR….. wkwkkwkwkwk”


Sontak semua hadirin tertawa. Palu lantas dikethok pimpinan sidang. forum dibubarkan. Bahsul Masail ditutup.


(Wangsit Humor: Ichwan Ndeso Manggon Kutho)




Nikah Via Internet

Upah Relawan Kotak Amal



Sudah menjadi kewajaran di sekitar kita pembangunan fasilitas ibadah (mis. Masjid, mushalla, madrasah, pesantren, dll) yang mengandalkan dana sumbangan masyarakat. Dengan segala kreatifitasnya, panitia berusaha sekuat tenaga mencukupi kekurangan pendaan ini.


Diantara strategi penggalian dana dilakukan dengan cara mengirim relawan untuk naik ke atas angkutan umum dan mengedarkan kotak amal kepada para penumpang. Atau dengan cara mendirikan semacam ‘pos’ di pinggiran jalan raya dengan harapan menarik minat mereka yang lewat untuk beramal.


Akan tetapi dalam prosesnya relawan memerlukan biaya guna memenuhi kebutuhannya. Meskipun sekedar makan, minum atau bensin untuk perjalanan. Oleh karena itu diaturlah pembagian hasil antar keduanya. antara relawan penggalang dana dan panitia sebagai penerima dana.


Fenomena semacam ini diperbolehkan dalam fiqih asalkan tidak melebihi dari upah sepantasnya atau sekedar mencukupi kebutuhannya, apabila relawan itu fakir. Lain halnya kalau relawan adalah orang yang kaya, maka tidak boleh, sebagaimana firman Allah: Apabila si orang itu kaya hendaknya menjaga diri (jangan mengambil) dan apabila si orang itu fakir maka hendaknya mengambil sekedarnya secara baik.


Demikian keterangan Abu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj 


وَقِيْسَ بِوَلِيِّ الْيَتِيْمِ فِيْمَا ذُكِرَ مَنْ جَمَعَ مَالاً لِفَكِّ أَسْرٍ أَيْ مَثَلاً فَلَهُ إِنْ كَانَ فَقِيْرًا اْلأَكْلُ مِنْهُ كَذَا قِيْلَ وَالْوَجْهُ أَنْ يُقَالَ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ قَالَ الشَّرْوَانِي (قَوْلُهُ أَي مَثَلاً) يَدْخُلُ مَنْ جَمَعَ لِخَلاَصِ مَدِيْنٍ مُعْسِرٍ أَوْ مَظْلُوْمٍ مُصَادَرٍ وَهُوَ حَسَنٌ مُتَعَيَّنٌ حَثًّا وَتَرْغِيْبًا فِيْ هَذِهِ الْمُكَرَّمَةِ. أهـ سَيِّد عُمَر. أَقُوْلُ وَكَذَا يَدْخُلُ مَنْ جَمَعَ لِنَحْوِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ. (قَوْلُهُ وَ كَذَا قِيْلَ) لَعَلَّ قَائِلُهُ بَنَاهُ عَلَى مَا مُصَحِّحِ الرَّفِعِي. اهـ سيد عمر. (قَوْلُهُ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ ) النَّفَقَةُ وَاُجْرَةُ الْمِثْلِ .


Disamakan dengan wali anak yatim, seperti yang telah dikemukakan, orang yang mengumpulkan harta, misalnya untuk membebaskan tawanan. Jika ia orang yang miskin maka ia diperbolehkan untuk makan dari harta tersebut atau ia boleh mengambil satu di antara dua hal yang paling sedikit, yaitu biaya nafkah atau mengambil ujrah al-mitsli (upah standar). 


Menurut al-Syirwani yang demikian itu termasuk pula orang yang mengumpulkan harta untuk membantu menyelamatkan orang miskin yang terbelit hutang atau orang yang terzalimi yang dirampas hartanya. Pendapat tersebut adalah pendapat yang baik dan (memang) harus seperti itu, sebagai pendorong dan penyemangat dalam perbuatan mulia ini. Demikian pendapat Sayyid Umar. Saya (al-Syirwani) berpendapat:“Begitu pula orang yang mengumpulkan harta untuk membangun mesjid.” (Maksud salah satu di antara dua hal), yaitu nafkah dan ujrah al-mitsl (upah standar).


Keputusan Muktamar NU ke-2 (Sumber: http://nu.or.id)



Upah Relawan Kotak Amal

Muhasabah Seputar Qurban




Hari Raya Qurban merupakan momen yang bisa disebut juga sebagai pesta rakyat bagi golongan yang kurang mampu sampai golongan mampu. Berbeda halnya dengan zakat fitrah dibagikan kepada golongan mustahik saja yang terdiri  dari 8 Asnaf.


Merupakan hal yang sangat mengharukan bila yang berqurban kali ini adalah dari golongan rakyat jelata yang seyogyanya mereka mendapat perhatian penuh dari para muzakki, berikut cuplikan ceritanya di bawah ini.


Pasangan suami istri yang berprofesi sebagai pemulung memberikan dua hewan qurban di Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Pengurus masjid yang menerima dua ekor kambing itu menangis terharu.


“Saya nangis, tidak kuat menahan haru,” ujar Juanda (50), salah satu pengurus Masjid Al Ittihad kepada merdeka.com, Jumat (26/10/2012).


Juanda menceritakan, Selasa (23/10/2012), seorang pemulung bernama Maman datang ke Masjid Al Ittihad. Masjid megah ini terletak di kawasan elit Tebet Mas, Jaksel.


“Bawanya pakai bajaj. Dia kasih dua ekor kambing untuk qurban. Dia bicara tegas, justru saya yang menerimanya tak kuat. Saya menangis,” kata Juanda.


Dua kambing qurban yang diserahkan pemulung itu berwarna cokelat dan putih. Kambing itu justru yang paling besar di antara kambing-kambing lain.


Juanda menceritakan, pengurus lain pun terharu mendengar cerita ini. Begitu juga jamaah shalat Idul Adha saat mendengar pengumuman lewat pengeras suara sebelum shalat dilaksanakan. Mungkin, saat membaca cerita ini, mata Anda pun berkaca-kaca.


Adalah pasangan suami istri Yati (55)  dan Maman (35), keduanya pemulung, menabung susah payah untuk berqurban. Yati mengaku,  sempat ditertawakan saat bercerita seputar niatnya untuk berqurban.


“Pada ketawa, bilang sudah pemulung, sudah tua, nggembel, ngapain qurban,” cerita Yati, Jumat (26/10/2012).


Tapi Yati bergeming. Dia tetap meneruskan niatnya untuk membeli hewan qurban. Akhirnya setelah menabung tiga tahun, Yati bisa berqurban tahun ini.


“Pada bilang apa tidak sayang, mending uangnya untuk yang lain. Tapi saya pikir sekali seumur hidup masak tidak pernah qurban. Malu cuma nunggu daging kurban,” beber Yati.


Yati dan suaminya, Maman, sama-sama berprofesi sebagai pemulung. Pendapatan mereka jika digabung cuma Rp 25 ribu per hari. Tapi akhirnya mereka bisa membeli dua ekor kambing. Masing-masing berharga Rp 1 juta dan Rp 2 juta.


Dua kambing ini disumbangkan ke Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Jemaah masjid megah itu pun meneteskan air mata haru.


Pasangan suami istri ini tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet, Jakarta Selatan. Saat merdeka.com mengunjungi gubuk Yati usai Shalat Idul Adha, Jumat (26/10/2012), Juanda, pengurus Masjid Al Ittihad, ikut menemani.


Yati membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Tak ada barang berharga di gubuk 3×4 meter itu. Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun TV itu tak menyala.


Wanita asal Madura ini bercerita soal mimpinya bisa berqurban. Dia malu setiap tahun harus mengantre meminta daging. “Saya ingin sekali saja bisa berqurban. Malu seumur hidup hanya minta daging,” katanya.


Yati mengaku sudah lama tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin itu.


“Di sini ya tidak bayar. Mau bayar ke siapa? Ya numpang hidup saja,” katanya ramah.


Setiap hari Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis.


“Biar ngesot saya harus kerja. Waktu itu katanya saya asam urat karena kelelahan kerja. Maklum sehari biasa jalan jauh. Ada kali sepuluh kilo,” akunya.


Juanda yang menjaga Masjid Al Ittihad terharu saat Yati bercerita mimpi bisa berqurban lalu berusaha keras mengumpulkan uang hingga akhirnya bisa membeli dua ekor kambing.


“Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil,” gumamnya.


Di tengah kemiskinan yang mendera, Yati-Maman, dua pemulung ini berqurban dua kambing–setelah dengan susah payah menabung selama 3 tahun. Bagaimana bagi yang memiliki kemampuan, tapi tak tergerak untuk berqurban?


(sumber: merdeka.com)



Muhasabah Seputar Qurban

Menghidupkan Dua Hari Raya 'Ied Fitri dan 'Ied Adha



Para pembaca Sarkub.com, kami mengucapkan “Selamat Hari Raya ‘Iedul Adha 1433 H.”  Semoga hari kurban ini menjadikan kita lebih tawakal, saling berbagi, mempertebal iman, dan selalu Ridlo apa yang telah Allah SWT berikan pada kita, aamiin.


Kebanyakan dari masyarakat awam dalam menyikapi malam dua hari raya ini dengan cara tidur, bermalas-malasan, bahkan menyalakan petasan, kembang api, yang lebih parah lagi pacaran di tempat-tempat dekat  berkumpulnya orang sedang mengumandangkan Takbir, Tahmid, Tahlil, Masya Allah sungguh mengenaskan.


Bagaimana sebaiknya cara menghidupkan malam-malam yang mulia ini,


Sabda Rasulullah saw : ” Hiasilah Ied kalian dg Takbir.” Takbir yang biasa dikumandangkan oleh ummat Islam adalah sebagai berikut :


 Dalam mazhab Hanafi dan mazhab Hambali shigot takbir sebagai berikut:


Allahu akbar 2x,

La ilaha illa-Llah wa-Llahu akbar,

Allahu akbar 2x

Wa li-Llahi l-hamd.

Sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir, dan sebagaimana yang dilakukan oleh dua orang Khalifah Rasyidah dan Ibnu Mas’ud.


Dalam mazhab Maliki dan Syafii (dalam qaul jadid) kalimat takbir sebagai berikut:
“Allahu akbar” 3x ini saja menurut mazhab Malik sudah lebih bagus.
Tapi jika ditambah dengan “La ilaha illa-Llah wa-Llahu akbar, Allahu akbar

wali-Llahi l-hamd”
tidak masalah kata mereka (mazhab Maliki) karena ada hadis riwayat

Jabir dan Ibnu Abbas tentangnya.


Menurut mazhab Syafii disunnahkan menambah bacaan: “Allahu akbar kabiro wa l-hamdu li-Llahi katsiro wa subhana-Llahi bukrotan wa ashila” sehabis mengulang kalimat takbir di atas sebanyak tiga kali. Karena Nabi pernah mengucapkannya ketika berada di Shofa.


Kemudian disunnahkan menambah bacaan setelahnya dengan “La ilaha illa-Llah wa la na’budu illa iyyah, mukhlishina lahu d-din wa lau kariha l-kafirun, la ilaha illa-Llah wahdah, shodaqo wa’dah, wa nashora ‘abdah, wa hazama l-ahzaba wahdah. La ilaha illa-Llah wa-Llahu akbar”.
Tambahan di atas ini diperbolehkan (tidak disunnahkan) oleh mazhab Hanafi.


Dan diperbolehkan pula takbir ditutup dengan bacaan salawat:
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad wa ‘ala ashhabi Muhammad wa ‘ala azwaji Muhamad wa sallim tasliman katsiro”.


Sabda Rasulullah saw : Barangsiapa mengucapkan SUBHANALLAH WABIHAMDIHI pada hari Idulfitri sebanyak 300X, dan menghadiahkannya untuk ummat muslimin, maka masuklah pada setiap kubur 1000 cahaya, dan Allah jadikan dikuburnya kelak baginya bila ia wafat 1000 cahaya pula


Barangsiapa yg menghidupkan malam idul fitri dg Tahajjud dan mengingat dosa dan bertafakkur, maka Allah akan membuat hatinya terus hidup pada saat matinya semua hati.


Semoga Bermanfaat


Wallahu ‘Alam


(Sumber – Mukasyiaftulquluub – Imam Ghazali bab Fadhlul Ied)



Menghidupkan Dua Hari Raya 'Ied Fitri dan 'Ied Adha

Sakral Mekkah-Medinah yang Kian Memudar




Tak usah heran jika para jamaah haji pulang dengan tanpa rasa apa-apa. Seakan tak ada bedanya. Hanya saja nama mereka kini berawalkan “Haji made in Saudi Arabia”…..


Mekkah-Medinah, dua kota yang dikultuskan oleh Allah sebagai tanah kelahiran dan kematian kekasih-Nya. Dua kota yang terletak persis di tengah belahan bumi, sebagai awal cikal-bakal munculnya kebenaran yang sesungguhnya. Di dalamnya berdiri kokoh Ka’bah, kiblat ibadah umat Islam seluruh dunia. Di dalamnya terdapat tempat peristirahatan terakhir Nabi yang diutus untuk segala massa dan masa. Dua kota yang dipilih untuk menjadi saksi bisu sejarah dakwah yang penuh pengorbadan jiwa, raga, dan harta. Namun, keduanya tak kunjung mampu menyeka air mata.


Kedua kota itu menangis karena kebengisan sang penguasa. Artefak-artefak Islami dihancurkan tak bersisa. Literatur-literatur arab yang diajarkan lebih dari sepuluh abad dibakar tanpa iba. Merampas paksa tanah Haram dari sang khalifah dengan bantuan Inggris dan Amerika. Paham yang muncul dari tanah pijakan Musailamah Al-Kadzab disebar secara paksa. Jiwa-jiwa yang tak patuh dan sependapat dibunuh meskipun tak berdosa. Nabi memang tak pernah salah bersabda: Bahwa nantinya akan muncul generasi setan yang meluluhlantakkan akidah dan agama. Pemikiran kaku dan kolot mengkafirkan semua yang tak berkeyakinan dengannya. Mensyirikkan segala perbuatan yang tak sesuai yang persepsinya.


Aliansi pemikiran –Wahhabi-  dan kekuasaan –Saudi- bergabung kuat. Hubungannya dengan Inggris kian intim dan merapat. Inggris menginginkan kehancuran islam, Saud bernafsu menguasai Jazirah arab, dan Muhammad bin Abdul Wahhab bercita-cita sebagai imam nomer wahid, pembaharu islam di dunia. Persekongkolan berhasil dengan runtuhnya Turki Utsmani. Inggris penguasa perang dunia pertama, keluarga Saud terkabul menjadi pimpinan Negara, Muhammad bin Abdul Wahhab terharu seraya menepuk dada karena impiannya nyata menjadi pemuka agama.


Kini Mekkah-Medinah menjadi kota metropolitan. Sekelas dengan Las Vegas, Singapura, Manchester, Paris yang selalu menawan. Tempat-tempat suci dan bersejarah yang mereka hancurkan dengan dalih syirik, kini dibangun hotel berbintang lima. Kubah-kubah pemakaman para Nabi dan sahabat mereka lenyapkan sebab kata mereka bid’ah, namun mereka tegakkan atap-atap istana dengan kemegahan yang luar biasa. Jam dinding maha besar yang terletak tak jauh disebelah Masjidil Haram menjulang tinggi mengalahi kubah dan menara, seakan-akan ingin menjadi simbol yang paling dekat dengan Tuhan.


Hidup para raja dan pimpinan negaranya sangat borjuis dan hedonis karena mereka mengharamkan tasawuf, tata cara hidup sederhana ala Nabi. Mereka megahkan istana dan rumah dengan melenyapkan jejak sejarah. Mereka tinggikan bangunan modern dengan meratakan segala pemakaman. Mereka adakan pesta rutinan dengan menyantap segala macam makanan. Alih-alih menjadi pelayan tamu-tamu Tuhan, yang ada malah mereka merampok para tamu Allah dengan sebongkah tumpukan uang dolaran. Memang mereka haramkan kaum kafir memasukki tanah haram tapi mereka halalkan dan sunnahkan menaruh investasi dan saham besar-besaran. Lantas kemana ulama mereka? Ah, jangan tanya ulama mereka. Ulama mereka sibuk meratapi ayat-ayat Tuhan di depan kamera, melakukan segala cara agar jidat tampak hitam dan kelam tanpa sadar bahwa perut mereka mancung tak tertahan. Bukan agama lagi yang menjadi patokan fatwa, tapi kebijakan sang raja yang harus dinomersatukan. Memperingati hari kelahiran Nabi, haram dan bid’ah tapi memperingati hari kemerdekaan negara, sunnah sebagai rasa syukur yang harus kita panjatkan. Begitu sang raja dihina, dubes negara segera dicabut, namun tatkala Nabi dilecehkan mereka hanya diam, menyembunyikan wajah sembari menutup mulut. Hanya segelintir ulama-ulama Rabbani sekelas Sayyid Abbas, Syaikh Muhammad bin Ismail yang sabar berdiri tegap membersihkan noda-noda agama yang kian melekat di dinding Ka’bah dengan semangat yang tak pernah surut.


Tak usah heran jika para jamaah haji pulang dengan tanpa rasa apa-apa. Seakan tak ada bedanya. Hanya saja nama mereka kini berawalkan “Haji made in Saudi Arabia”. Bagaimana tidak, tempat Sa’i, yang dulunya bunda Hajar berlari-lari di bawah terik matahari yang membakar hanya untuk seteguk air, kini beratap dan beralaskan marmer dingin. Tawaf tak perlu dekat dengan Ka’bah karena empat lantai ber-AC+eskalator sudah siap digunakan.


Jangan bilang Tuhan bersikap apatis, jangan tafsirkan diam-Nya adalah bentuk kerestuan. Tidak, selamanya tidak. Tuhan tidak membiarkan. Tuhan pasti bermaksud lain. Kita tunggu, suatu saat pemerintahan Saud dan paham Wahhabi akan terkikis dari tanah yang disucikan Tuhan. Haramain terlalu suci untuk dibungkus dengan paham yang muncul dari tanah pijakan Musailamah Al-Kazdab, terlalu kultus diselimuti “Jubah buatan Inggris-Amerika “. Yah, pastinya Tuhan akan menyelamatkan tanah kelahiran dan kematian kekasih-Nya.


Walaupun sampai sekarang Mekkah-Medinah tak kunjung mampu menyeka air mata.


(Koresponden Sarkub: Mas Yaqien)



Sakral Mekkah-Medinah yang Kian Memudar

10 Pertanyaan Untuk MTA




Berikut ini kami sampaikan pertanyaan-pertanyaan untuk MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an), antara lain:


Soal 1


Dalam buku edaran brosur MTA, Ahmad Sukino menulis zakat boleh diberikan kepada orang kafir apabila diharapkan kaumnya masuk Islam (Muallafatu qulubuhum)? Bukankah itu bertentangan dengan hadits Rasulullah yang shahih riwayat Bukhari:


انّ الله افترض عليهم صدقة في أموالهم تؤخذ من أغنيائهم وتردّ على فقرائهم


“Allah mewajibkan umat Islam menzakatkan hartanya, diambil dari umat Islam yang kaya dan diberikan kepada umat Islam yang miskin.”


Berarti jelas, Ahmad Sukino bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad.



Soal 2


Kami mengikuti Imam Syafi’i yang disepakati alim dan pintarnya oleh ulama dan anda mengikuti Ahmad Sukino yang tidak jantan ketika diajak berdialog atau berdebat. Kami tanya, pintar mana Ahmad Sukino, imam anda atau Imam Syafi’i, imam kami? Jawaban anda menentukan siapa yang bodoh dan sesat!


Soal 3


Ahmad Sukino sering mengkritik budaya NU, tetapi ketika diajak berdialog dia selalu mengatakan agama tidak perlu didebatkan. Jika tidak perlu didebatkan, maka kenapa anda selalu mendebat dan menghina kami lewat pidato busuk anda? Anda banci yang takut kalah atau jangan-jangan pengecut tapi sok jago? Kami selalu siap berdebat dangan Ahmad Sukino di manapun dan kapanpun. Dan sudah berkali-kali Ahmad Sukino yang pengecut diajak berdialog dan selalu tidak berani dengan alasan yang dibuat-buat.


Soal 4


Anda mengharamkan adzan dan iqamah di telinga bayi saat dilahirkan. Padahal pendapat anda bertentangan dengan mayoritas ulama Islam. Pertanyaannya, yang benar adalah Ahmad Sukino dan kroni-kroni MTA-nya atau ulama-ulama yang mengatakan sunah? Jawaban anda menentukan mana yang sesat, kami atau MTA! Jika anda mengatakan haditsnya dhaif, maka kami semakin yakin jika anda kelasnya adalah cah angon yang sok pintar!


Soal 5


Jika kami katakan, bahwa orang MTA tidak ada yang pintar agama Islam, maka apakah anda keberatan? Jika keberatan maka kami ingin bukti dengan berdialog. Jika tidak berani, maka pantaskah anda menghina kami sementara perilaku anda adalah pengecut!?


Soal 6


Anda kami pastikan tidak mengakui madzhab, baik Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Akan tetapi kami bertanya, yang katanya anda hanya mau mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan hadits saja, Imam al-Bukhari bermadzhab atau tidak? Jika anda bilang tidak, maka tunjukkan kitab sejarah yang menunjukannya. Karena kami dapat pastikan beiiau adalah pengikut madzhab Syafi’I, Imam Nasai, Imam Baihaqi, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani penulis kitab hadits Bulughul Maram dan lain-lain semuanya adalah pengikut madzhab Syafi’i. Maka, jawablah kenapa anda tidak mau seperti mereka? Apakah anda merasa lebih baik dari pada Imam Bukhari?


Soal 7


Anda bilang, anda belajar langsung dari Qur’an dan hadits. Ingat dalam Al-Qur’an terdapat ilmu tata cara mengambil hukum dari AI Qur’an maupun hadits, maka terangkan kepada kami, apa itu nasaikh mansukh, hadits ahad, hadits mutawatir, dan istilah-istilah lain. Jika tidak bisa berarti anda termasuk dari orang yang diancam oleh Rasulullah & masuk neraka!


uBarang siapa yang berbicara tentang (tafsir / ta’wil) Al-Qur’an dengan tanpa ilmu, maka silahkan mengambil tempatnya di neraka (HR: Tirmidzi, Ahmad bin Hanbal dan Baihaqi)


 


Soal 8


Anda mengklaim diri mampu menafsirkan Al-Qur’an. Pertanyaan kami, untuk berkemampuan menafsirkan Al-Qur’an, anda harus memenuhi syarat-syarat sebagai mufassir, maka sebutkan syarat-syarat tersebut agar kami tahu apakah Ahmad Sukino memang benar-benar telah mampu dan mempunyai kapasitas menafsirkan Al-Qur’an? Jika tidak mampu, sebaiknya kalian diam dan belajar kembali di hadapan para ulama yang shalih!


Soal 9


Jika kami katakan anda sebagai ahli bid’ah yang muncul baru-baru ini, maka apa jawaban anda? Jika tidak terima dengan tuduhan kami, apa sebaiknya kita bertemu dalam meja dialog agar kami dapat bertabayun dan berdialog secara ilmiah dengan anda?.


Soal 10


Setiap sesuatu yang tidak diajarkan Rasulullah adalah bid’ah, maka kami bertanya anda harus ngaji khusus di hari Minggu dalilnya apa? Padahal anda sangat memusuhi warga NU yang membaca Yasin di hari Jum’aL Bukankah budaya anda yang hanya mau ngaji di hari Minggu sama dengan orang kafir?


Benteng Ahlussunnah Wal Jama’ah


(Nur Hidayat Muhammad)



10 Pertanyaan Untuk MTA

Peringatan! Awas Salah Tempat Sa'i



Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.


Kaum Wahabi tidak merasa cukup hanya dengan berusaha merusak aqidah orang-orang Islam, selain itu  mereka juga merusak ibadah haji orang-orang Islam yang tengah mereka kerjakan.


Sesungguhnya semenjak zaman Rasulullah seluruh orang Islam melakukan ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah di tempat khusus yang telah ditetapkan oleh Raslullah. Dalam sebuah hadits Rasulullah memberikan pelajaran tentang tata cara berhaji, beliau bersabda:


خذوا عني مناسِككم


“Ambilah dariku tata cara ibadah haji kalian”.



Rasulullah tidak perah berkata: “Ambilah tata cara ibadah kalian dari para penguasa wahabi”.


Tepatnya tanggal 24 Februari 2008 kaum Wahabi memulai proyek pelebaran tempat ibadah sa’i yang sebelumnya telah mereka rencanakan. Mereka ingin “dikenang sejarah” agar dicatat bahwa pelebaran tempat ibada sa’i telah dibangun oleh “tangan mereka”, tidak peduli walaupun itu menyalahi ketentuan-ketentuan syari’at.


Lebar tampat ibadah sa’i sebenarnya adalah sekitar 35 hasta; atau sekitar 17,5 meter. Namun sekarang telah dirubah oleh dinasti Wahabi menjadi 55 meter, dengan menambahkan sekitar 38 meter dari yang telah ditentukan oleh Rasulullah. Proyek pelebaran ini tidak lain hanya untuk “memenuhi keinginan perut dan kekuasaan” mereka.


 Al Imam al Hafizh an Nawawi dalam kitab al Majmu’, juz. 2, hlm. 77, meriwayatkan perkataan Imam asy Syafi’i, menuliskan: “Imam asy Syafi’i berkata: Jika seseorang melakukan sa’i di suq al ath-tharin maka sa’i-nya tersebut tidak sah”. 


Suq al ath-tharin di masa Imam asy Syafi’i adalah adalah tempat yang menempel di sisi tempat sa’i yang telah ditentukan oleh Rasulullah. Lihat gambar berikut ini, di bagian belakang peralatan berat adalah tempat sa’i lama (tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah). Kemudian sedikit di arah depan peralatan berat tersebut adalah Suq al Al ath-tharin (menempel dengan tempat sa’i lama). Lalu di depannya lagi ke arah luar (dengan tanda panah yang banyak) adalah pelebaran yang tempat sa’i yang prakarsai Wahabi.



Foto ini menunjukan pengerjaan proyek pelebaran tempat Sa’i yang di mulai tahun 2008



 Syekh Mulla Ali al Qari, salah seorang ulama terkemuka madzhab Hanafi, berkata: “Jika seseorang melakukan sa’i di luar tempat yang telah disepakati maka ibadah sa’i-nya tidak sah. Orang tersebut jika telah pulang (dari Mekah) maka wajib ia kembali (ke Mekah) untuk melakukan sa’i sesuai tempat aslinya”.  


Apa yang dikutip oleh Syekh Mulla al Qari ini adalah konsensus (Ijma’) ulama tentang keharusan melakukan sa’i sesuai dengan tempat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Perkara ini telah disepakati oleh seluruh ulama.


Namun lihat, apa yang sekarang terjadi…!!! Suq al Ath-tharin yang menempel ke tempat sa’i lama yang oleh Imam Syafi’i tidak boleh dijadikan tempat sa’i; sekarang malah jauh lebih keluar dan lebih melebar. Hasbunallah!!.


Ingatkan saudara-saudara kita yang berangkat haji; YANG MELAKUKAN SA’I DI LUAR TEMPAT SA’I YANG LAMA MAKA SA’I-NYA TIDAK SAH”.



Lihat gambar di atas, garis dengan warna merah adalah tempat sa’i lama yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah, garis biru adalah wilayah Suq al Ath-tharin, dan garis kuning (termasuk yang diarsir) adalah tempat sa’i baru prakarsa Wahabi. Sa’i yang dikerjakan di wilayah warna biru dan kuning ini tidak sah. Ibadah sa’i antara Shofa dan Marwah harus dilakukan ditempat sa’i lama.



Perhatikan…. Seorang yang melaksanakan sa’i (baik untuk haji atau untuk umrah) pertama-tama ia memulainya dari Shafa, lalu berjalan ke arah Marwah; harus ia lakukan pada bagian yang lebih dekat ke arah ka’bah, (pada gambar di atas di garis warna merah). Kemudian ketika memutar balik dari arah Marwah untuk kembali ke arah Shafa harus pada tempat yang sama; jangan sampai melebar ke arah yang ditunjukan dengan warna biru dan warna kuning.


Perhatikan foto ini


 


Panah warna merah ke arah kanan adalah arah dari Shafa menuju Marwah; tempat sa’i ini sudah di luar batas yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Tidak sah melakukan sa’i di tempat ini.


Sementara warna hijau adalah arah balik dari Marwah ke Shafa, inilah yang disebut Mas’a Qadim; tempat sa’i yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Sa’i hanya sah dilakukan di batasan ini. Panah kecil warna kuning untuk menunjukan bahwa Mas’a Qadim ini berada di arah yang lebih dekat ke Ka’bah.


Permasalahan:


 “Ada yang mengatakan  bahwa tujuan pelebaran itu adalah untuk meringankan jumlah jama’ah yang sangat banyak”.


Jawab: “Ada cara untuk tujuan itu yang sesuai dengan tuntunan syari’at, yaitu dengan membuat beberapa lantai baik ke arah atas atau ke arah bawah. Seandainya dibangun ke arah atas walaupun hingga 10 lantai, dan atau ke arah bawah walaupun hingga 10 lantai dengan tetap memelihara panjang dan lebarnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah; termasuk menjaga posisi tinggi dan rendahnya antara dua bukit Shafa dan Marwah tersebut, sesuai dengan pola tempat sa’i yang lama; maka sa’i-nya dianggap sah. Oleh karena Siti Hajar dahulu naik bukit Shafa, lalu turun, lalu naik ke bukit Marwah, lalu turun, lalu kembali naik ke bukit Shafa, dan demikian seterusnya.


Kaum Wahabi MEMBUAT BOHONG BESAR dalam masalah ini, mereka mengatakan bahwa masalah tempat sa’i adalah masalah yang masih diperselisihkan (khilafiyyah). Catat, pernyataan mereka ini BOHONG BESAR.


Sebenarnya, dahulu para pemuka ajaran Wahabi sendiri mengharamkan melakukan sa’i di luar batas yang telah ditetapkan oleh Rasulullah –seperti yang akan anda lihat dalam bukti scan di bawah ini–, hanya kemudian makin ke belakang ini di antara mereka terdapat perbedaan pendapat. Catat, PERBEDAAN PENDAPAT INI HANYA DI ANTARA MEREKA; antara yang mau mangikuti “nafsu kekuasaan raja mereka” dan antara mengikuti ketetapan tampat sa’i yang lama.


Sekali lagi CATAT…., yang dimaksud “perbedaan pendapat” (khilafiyyah) oleh mereka adalah perbedaan di kalangan orang-orang Wahabi sendiri, bukan ulama kita; ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.


Seandainya sa’i dapat dilakukan di luar tempat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah –seperti ketetapan ajaran baru kaum Wahabi ini; maka berarti sa’i dapat dilakukan di mana-pun. Na’udzu billah.


Mereka dahulu tidak pernah berani mengeluarkan pendapat yang menyesatkan ini; sebelum kemudian datang proyek pelebaran tersebut dari “tuan-tuan raja mereka sendiri”. Bahkan dahulu mereka mengingkari orang-orang yang melakukan sa’i di luar batas/tempat yang telah ditetapkan dalam syari’at. Namun setelah “ketetapan” penguasa mereka datang; akhirnya fatwa-fatwa kaum Wahabi satu sama lainnya saling bertentangan; sesuai kepentingan “FULUS”.


Perhatikan ketetapan para ulama Wahabi dalam scan berikut, mereka melarang pelebaran tempat sa’i dari yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, mereka hanya membolehkan membangun lantai bertingkat jika memang itu dibutuhkan.



Ini bunyi teks yang beri tanda panah dan garis merah:


أن العمارة الحالية للمسعى شاملة لجميع أرضه , ومن ثم فإنه ((لا يجوز توسعتها)) , و يمكن عند الحاجة (حل المشكلة رأسياً) , بإضافة بناء فوق المسعى


: “Bangunan tempat sa’i yang ada sekarang sudah mencakup keseluruhan area tanahnya (artinya sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Syari’at), oleh karena itu tidak boleh diperlebar. Tapi dimungkinkan –bila dibutuhkan– untuk memecahkan masalah (terlalu banyak jama’ah) dengan menambah bangunan di atas tempat sa’i (yang ada)”.


Bahkan, “Imam terkemuka rujukan Wahabi”; al Mujassim IBNU TAIMIYAH mengatakan bahwa sa’i yang dilakukan diluar tempat yang telah disepakati maka sa’i-nya tidak sah. Dalam “Syarh al ‘Umdah”, juz 3, hlm 599, IBNU TAIMIYAH berkata: “Jika seseorang melakukan sa’i ditempat yang berdekatan dengan tempat sa’i yang telah ditentukan, ia tidak melakukan sa’i di tempat antara Shafa dan Marwah; maka sa’i-nya tidak sah”.


Lebih jauh lagi, IBNU TAIMIYAH mengatakan jika seseorang berjalan naik turun di antara dua gunung dan ia menganggap apa yang dilakukannya ini sebagai bentuk ibadah sebagaimana ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah; maka perbuatannya ini HARAM, bahkan pelakunya harus diminta untuk bertaubat, dan jika ia tidak mau bertaubat maka ia dihukum BUNUH. (Lihat karya Ibnu Taimiyah berjudul MAJMU’ FATAWA, juz. 11, hlm. 632)


Tempat sa’i yang kita lihat sekarang dengan nama “AL MAS’A AL JADID” (Tempat Sa’i Baru) adalah jelas tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah.


Heh…. Wahabi!!! Mengapa kalian tidak menamakan “PEKERJAAN” kalian tersebut sebagai bid’ah?????? Bukankah itu nyata bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam praktek ibadahnya??????????? Tidakkah kalian BUNUH DIRI saja agar sesuai dengan fatwa “Imam” kalian; Ibnu Taimiyah al Mujassim yangtelah mengatakan demikian?????


 Cukup bagi kita bahwa Rasulullah telah bersabda:


خذوا عني مناسِككم


“Ambilah dariku tata cara ibadah haji kalian”.


(Disampaikan oleh Ust. Kholil Abou Fateh)



Peringatan! Awas Salah Tempat Sa'i

Makna Firman Allah "Kun Fayakun" (QS. Yaasiin:82)





Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82).


Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”. Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”. Hal ini tentu rancu.



Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.


Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “di masa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu.


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: “كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ” (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)


Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda: “Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)


Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.


Kemudian dari pada itu, kata “Kun” adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?! Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.


( لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ) (سورة الشورى: 11)


 “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)


Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.


wallahu a’lam bisshowab





Makna Firman Allah "Kun Fayakun" (QS. Yaasiin:82)

Hukum Sholat Jum'at Ketika Hari Raya



Alhamdulillah kita telah berada di Bulan Dzulhijjah yang mulia. Dan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama telah menetapkan bahwa Hari Raya Idul Adha jatuh pada hari Jumat nanti, 26 Oktober 2012. Tidak ada perbedaan yang muncul dalam Sidang Isbat Penentuan awal Dzulhijjah 1433 H sehingga bisa dipastikan kita ummat muslim di Indonesia akan merayakannya bersama-sama di hari Jum’at.


Namun ada sebuah persoalan yang selalu menjadi materi pertanyaan dan pembicaraan ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’at masih dihukumi wajib?



Sebetulnya tidak ada pembahasan khusus terkait hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, yang jatuh pada hari Jum’at. Hari raya adalah satu hal, dan hari Jum’at adalah hal lain. Akan tetapi ketika kita membicarakan seorang yang rumahnya sangat jauh dari masjid, apakah ia harus kembali lagi untuk menunaikan shalat Jum’at setelah di pagi harinya ia telah menunaikan shalat hari raya?


Seperti di zaman awal Islam, ada sahabat yang jarak rumahnya dengan Madinah sejauh 4 km, bahkan lebih dari itu, dan harus ditempuh melewati padang pasir dan ditempuh dengan jalan kaki. Apakah ia harus kembali lagi ke Madinah tanpa kendaraan untuk menunaikan shalat Jum’at? Kalaulah ia harus kembali menempuh perjalanan dari rumah ke masjid dan sebaliknya, sungguh melelahkan. Pertanyaan berikutnya apakah Islam tidak memberikan solusi?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada tiga pendapat di kalangan ulama madzhab empat.


Pertama, pendapat madzhab al-Syafi’i yang mengatakan, bahwa ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka penduduk kampung yang mendengar panggilan shalat id boleh pulang dan meninggalkan shalat Jum’at. Kebolehan meninggalkan shalat Jum’at tersebut berlaku, ketika mereka mengikuti shalat hari raya, dan seandainya mereka pulang ke rumah mereka, maka mereka tidak akan dapat mengikuti shalat Jum’at. Kebolehan meninggalkan shalat Jum’at bagi mereka semata-mata karena rukhshah, keringanan dan dispensasi. Oleh karena itu, ketika penduduk desa itu tidak menghadiri shalat id, maka mereka jelas wajib menghadiri shalat Jum’at. Disamping itu, kebolehan penduduk desa itu meninggalkan shalat Jum’at, disyaratkan pulang dari shalat id itu sebelum masuk waktunya Jum’at, yaitu waktu zhuhur. Demikian pendapat golongan Syafi’iyah.


Kasus di Madinah di awal Islam itu bisa dijadikan alasan, tetapi apakah kita di Indonesia benar-benar mengalami nasib seperti itu?


Hal seperti itu hanya di wilayah yg padanya hanya ada satu masjid, sebagaimana masa lalu muslimin berdatangan dari wilayah perkampungan dan wilayah jauh, maka mereka melakukan shalat ied saja, dan jika harus kembali lagi untuk jumat maka akan sangat melelahkan, maka diudzurkan jumat dihari itu.


Beda dimasa kini yang masjid sudah ada dimana mana, maka tak ada udzur untuk meninggalkan jumat. Bagi kaum Muslimin di Indonesia yang mayoritas NU, hampir di setiap dusun ada masjid, rata-rata kurang dari 1 km dan tidak melewati padang pasir.


Mengenai udzur tsb adalah hadits riwayat Musnad Ahmad dan Ibn Khuzaimah bahwa Rasul saw menjelaskan jika hal ini terjadi maka Rasul saw memberi izin rukhsah/kemudahan untuk tidak melakukan jumat, dan barangsiapa yg ingin melakukan keduanya maka lakukanlah keduanya” (Shahih Ibn Khuzaimah)


Dan diperjelas pada riwayat shahih bahwa Nu’man bi Basyir ra berkata : “Rasul saw membaca surat sabbihisma rabbikal a’la dan Hal ataaka pada shalat jumat dan Ied, dan jika bersatu Ied dan Jumat pada satu hari maka membaca dua surat itu pada keduanya” (Shahih Muslim Bab Maa yaqra’ filjum’ah, Shahih Ibn Khuzaimah, Shahih Ibn Hibban, Musnad Ahmad, dan banyak lagi).


Kedua, pendapat madzhab Hanafi dan Maliki. Menurut kedua madzhab ini, apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka orang yang menghadiri shalat id tetap tidak dibolehkan meninggalkan shalat Jum’at. Al-Imam al-Dusuqi berkata, baik mereka yang menghadiri shalat id di kampungnya atau di luar daerahnya.


Ketiga, pendapat madzhab Hanabilah. Menurut madzhab Hanbali, apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka orang yang menghadiri shalat id dan melakukan shalat zhuhur, boleh meninggalkan shalat Jum’at, dalam artian shalat Jum’at gugur bagi orang tersebut. Menurut golongan Hanabilah, gugurnya shalat Jum’at itu hanyalah gugurnya menghadiri Jum’at, bukan gugurnya kewajiban Jum’at. Sehingga posisi orangyang menghadiri shalat id itu sama dengan orang-orang yang punya uzur seperti orang sakit, atau punya kesibukan yang membolehkan meninggalkan shalat Jum’at. Namun kewajiban shalat Jum’at tidak gugur bagi orang tersebut, dalam artian, orang itu dapat menjadi sebab sahnya shalat Jum’at dan sah menjadi imam Jum’at. Akan tetapi menurut golongan Hanabilah ini, menghadiri shalat Jum’at jelas lebih utama. Walahu a’lam. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 27, hal. 208).


Sumber:


- Ustadz Muh. Idrus Ramli, Islam Teduh dan Menyejukkan


- Habib Munzir Al-Musawa, www.majelisrasulullah.org


- KH Munawir Abdul Fattah, NU Online



Hukum Sholat Jum'at Ketika Hari Raya
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS