Pengunjung

Powered by Blogger.

Seguidores

Artikel Disarankan

Home » » Tempo Majalah Bungkus Tempe

Tempo Majalah Bungkus Tempe



TEMPO Memutarbalik Fakta Killing Fields di Magetan Sebagai Kuburan Massal PKI


Berawal dari berita Liputan Khusus Majalah TEMPO edisi 1-7 Oktober 2012, yang dengan keterlaluan mem-PKI-kan orang yang sudah mati. Padahal, mereka itu bukan PKI. Mereka itu malah orang-orang malang yang menjadi korban kekejaman PKI. Sejarah diputar balik. Orang bukan PKI dibilang PKI.”


    Dullah yang heran bertanya,”Maksud sampeyan apa, mbah, kok bilang orang sudah mati di-PKI-kan TEMPO? Memangnya TEMPO bikin berita apalagi mbah?”


    “Huh hu..arwah orang-orang mati korban kekejaman PKI datang ramai-ramai melapor. Mereka protes karena difitnah jadi PKI oleh TEMPO. Padahal mereka itu tewas dibunuh PKI dimasukkan ke dalam sumur tua. Lha beritanya di TEMPO sumur-sumur tua itu adalah kuburan PKI yang dibunuh dan dilemparkan di situ. Itu kan sama dengan menuduh, mayat-mayat yang dimasukkan sumur itu adalah PKI. Huh hu.., kasihan mereka. Sudah mati masih dituduh PKI,” kata Sufi Jadzab meraung keras.


    “Apa yang sebenarnya terjadi, pakde,” kata Dullah kepada Sufi tua meminta penjelasan,”Apa maksud omongan simbah?”


    “Aku mengira, itu berhubungan dengan Liputan Khusus TEMPO halaman 65,” kata Sufi tua menjelaskan,”Tentang sumur “neraka” di Dusun Puhrancang, Desa Pragak, Kecamatan Parang, Magetan. Puluhan tahun silam, ratusan orang yang dicap anggota PKI dibantai dan dilemparkan ke dalam sumur itu. Demikian, menurut Sukiman, 47 tahun, pemilik lahan yang ada sumur “neraka” itu.”


    “Sebentar pakde,” sergah Sukiran menyela,”Kalau Sukiman sekarang usianya 47 tahun, berarti tahun 1965 saat orang-orang PKI dibunuh dan dilempar ke sumur “neraka” itu usianya baru beberapa bulan. Apa mungkin bayi usia belum setahun jadi saksi pembunuhan?”


    “Sukiman, menurut TEMPO, memperoleh penjelasan tentang sumur “neraka” itu dari mertuanya yang sudah mati dua tahun silam,” kata Sufi tua.


    “Jadi hanya katanya?” gumam Sukiran manggut-manggut,”Yaitu, katanya orang yang sudah mati. Jadi tidak tahu sendiri karena saat peristiwa masih bayi.”


    “Meski begitu TEMPO sudah menyimpulkan bahwa sumur “neraka” itu adalah “Ladang Pembantaian” seolah-olah sama dengan peristiwa genocida di Kampuchea yang dilakukan Khmer Merah di bawah Pol Pot yang sudah diangkat jadi film berjudul Killing Fields – Ladang Pembantaian,” kata Sufi tua mencibir.


    “Berani sekali TEMPO bikin simpulan begitu?” gumam Sukiran geleng-geleng kepala.


    “Karena selain Sukiman masih ada narasumber lain, yaitu Kaderun, 69 tahun, Kadus Jombok, Desa Pragak,” kata Sufi tua menjelaskan,”Sumur itu dalamnya 27 meter dengan diameter 2 meter. Ada 82 orang yang dimasukkan ke sumur itu setelah dibunuh. Eksekutornya adalah Yunus, tentara yang bertugas di Perwira Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat (Puterpra) Kecamatan Parang, pangkat terakhirnya pembantu letnan dua. Puterpra itu kini berubah  menjadi Komando Rayon Militer alias Koramil.”


    “Sebentar pakde,” sahut Dullah menyergah,”Apa benar itu Puterpra sekarang berubah menjadi Komando Rayon Militer?”


    Sufi tua ketawa terkekeh-kekeh,”Ya itulah narasumber TEMPO. Redaktur pelaksananya pun asal muat tidak check and recheck terhadap data apalagi melakukan triangulasi.”


    “Yang benar bagaimana, pakde?” sahut Dullah ingin tahu.


    “Sejak zaman kolonial, daerah militer di kabupaten disebut District Militair yang di era kemerdekaan disebut daerah KODIM (Komando Distrik Militer). Di bawah District Militair atau KODIM  adalah daerah setingkat kecamatan yang disebut Onder District Militair yang di masa kemerdekaan disebut KODM (Komando Onder Ristrik Militer) yang berubah menjadi Komando Rayon Militer disingkat Koramil. Mana ada sejarah militer Koramil berasal dari Puterpra?” kata Sufi tua.


    “Walah kok tambah payah itu TEMPO?” kata Dullah geleng-geleng kepala.


    “Yang lebih payah, eksekutor para PKI itu adalah Yunus seorang diri,” kata Sufi tua terbatuk-batuk kecil,”Malah ada lagi kuburan massal karya Peltu Yunus di hutan Gangsiran di Dusun Gangsiran, Desa Mategal, Kecamatan Parang. Para korban dimasukkan ke sejumlah lubang yang dalamnya tidak sampai dua meter. Jumlah yang tewas belasan sampai puluhan. Begitu penuh langsung diuruk dan ditandai dengan pohon. Kaderun sendiri aktivis Pemuda Muhammadiyah yang menjadi Banser.”


     “Sebentar pakde,” Sukiran menyela,”Tadi Kaderun menyatakan jumlah PKI yang dimasukkan sumur “neraka” di Dusun Puhrancang itu 82 orang. Apakah jumlah itu sudah pasti? Darimana angka itu? Padahal ini, di halaman 65, TEMPO tegas-tegas menyatakan bahwa “puluhan tahun silam, ke dalam sumur itulah RATUSAN ORANG  yang dicap anggota Partai Komunis Indonesia yang mati dibantai dilemparkan.” Ini mana yang benar, 82 orang seperti kesaksian Kaderun, ataukah simpulan semaunya TEMPO yang menyebut angka RATUSAN ORANG?”


    “Jangan tanya kebenaran faktual kepada orang-orang musyrik penyembah funding asing. Mereka orang liberal. Orang bebas. Bebas bohong. Bebas memanipulasi data. Bebas kentut. Bebas apa saja, kecuali menyadari bahwa mereka adalah abdi setia funding asing,” kata Sufi tua datar.


    “Tapi pakde, ini adalah saksi lain lagi bernama Sumarwanto yang memberi angka 700 orang korban PKI di hutan Gangsiran,” kata Dullah.


    “Sumarwanto tidak tahu sendiri,” kata Sufi tua dengan suara merendah,”Dia diberitahu bapaknya. Jadi angka pasti berapa isi ‘Ladang Pembantaian’ itu belum jelas karena belum pernah ada yang menggali dan menghitung jumlah mayat di dalamnya,..kecuali…”


    “Kecuali apa pakde?” sergah Sukiran dan Dullah bersamaan.


    “Kecuali Kaderun, mertuanya Sukiman dan  bapaknya Sumarwanto adalah eksekutor PKI sehingga mereka tahu pasti jumlah angkanya.”


    “Wah bener sekali itu pakde,” kata Dullah manggut-manggut.


    “Tapi pakde,” kata Sukiran menyela,”Kalau memang di Magetan ada sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” terhadap orang-orang PKI, kenapa Mbah Sufi Jadzab menangis dan mengaku dilapori arwah orang-orang yang keberatan disebut PKI? Bagaimana ini penjelasannya?”


    Sufi tua mendecakkan mulut, memberi isyarat agar Sufi Sudrun yang menjelaskan alasan di balik menangisnya Sufi Jadzab. Dengan suara datar Sufi Sudrun menjelaskan, bahwa Kabupaten Magetan selama ini sudah dikenal di dunia sebagai tempat beradanya Lubang-lubang Sumur Pembantaian (Killing Holes) dan “Ladang Pembantaian” (Killings Fields) sebagaimana dicatat dalam buku “Lubang-lubang Pembantaian: Pemberontakan FDR/PKI 1948 di Madiun”  ditulis Maksum – Agus Sunyoto – Zainuddin terbitan Grafiti Press (1990); Peristiwa Coup berdarah PKI 1948 di Madiun  ditulis Pinardi terbitan Inkopak-Hazera (1967); Pemberontakan Madiun: Ditinjau dari hukum negara kita ditulis Sudarisman Purwokusumo terbitan Sumber Kemadjuan Rakjat (1951); De PKI in actie: Opstand of affaire (Madiun 1948: PKI Bergerak)  ditulis Harry A.Poeze terbitan KITLV-Yayasan Obor (2011).”


    “Woo jadi sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” di Magetan itu sejatinya  isinya orang-orang yang dibunuh PKI toh?” sergah Dullah menahan nafas,”Berapa banyak jumlah sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” karya PKI di Magetan itu kang?”


    “Yang sudah ditemukan ada 7 sumur “neraka” dan 1 “Ladang Pembantaian”, yaitu: 1. sumur tua  Desa Dijenan, Kec.Ngadirejo, Kab.Magetan; 2.Sumur tua I Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan; 3.Sumur tua II Desa Soco, Kec.Bendo, Kab. Magetan; 4. Sumur tua Desa Cigrok, Kec.Kenongomulyo, Kab.Magetan; 5. Sumur tua Desa Pojok, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan; 6. Sumur tua Desa Batokan, Kec.Banjarejo, Kab. Magetan; 7. Sumur tua .Desa Bogem, kec.Kawedanan, Kab.Magetan; satu lokasi yang digunakan membantai musuh-musuh PKI adalah ruangan kantor dan halaman  Pabrik Gula Gorang-Gareng di Magetan,” papar Sufi Sudrun menjelaskan keberdaan sumur-sumur “neraka” di Magetan.


    “Narasumber yang mengungkap sumur-sumur “neraka” itu  siapa  kang?” tanya Dullah.


    “Penduduk Kabupaten Magetan.”


    “Penduduk Kabupaten Magetan? Bagaimana bisa ada narasumber penduduk sekabupaten?”


    “Maksudnya, waktu sumur-sumur “neraka” itu dibongkar tahun 1950, yang menyaksikan berpuluh ribu warga kabupaten dari berbagai desa terutama keluarga-keluarga yang mencari anggota keluarganya yang hilang diculik PKI. Begitulah, puluhan ribu warga Magetan menjadi saksi kejahanaman PKI yang memasukkan korban-korban kebiadaban mereka ke sumur-sumur “neraka” itu. Jumlah korban dihitung. Diotopsi. Semua terdata rapi,” kata Sufi Sudrun.


    “Apa mayat-mayat itu masih bisa dikenali?”


    “Sebagian besar masih dikenali keluarga maupun tim dokter.”


    “Siapa saja kira-kira mereka yang dibantai PKI dan dimasukkan di sumur-sumur “neraka” itu, kang?”


        “Ini data dari sumur “neraka” I di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan yang berisi 108 mayat, yaitu:  Soehoed; R. Moerti. Kepala Pengadilan Magetan; Mas Ngabehi Soedibyo. Bupati Magetan; R. Soebianto, sekretaris kabupaten Magetan; R. Soekardono, Patih Magetan; Soebirin; Imam Hadi; R. Joedo Koesoemo; Soemardji; Soetjipto; Iskak; Soelaiman; Hadi Soewirjo; Soedjak; Soetedjo;Soekadi; Imam Soedjono; Pamoedji; Soerat Atim; Hardjo Roedino; Mahardjono; Soerjawan; Oemar Danoes; Soehari; Mochammad Samsoeri; Soemono; Karyadi; Soedradjat; Bambang Joewono; Soepaijo; Marsaid; Soebargi Haroen Ismail; Soejadijo; Ridwan; Marto Ngoetomo; Hadji Afandi; Hadji Soewignjo; Hadji Doelah; Amat Is; Hadji Soewignyo; Sakidi; Nyonya Sakidi; Sarman; Soemokidjan; Irawan; Soemarno; Marni; Kaslan; Soetokarijo; Kasan Redjo; Soeparno; Soekar; Samidi; Soebandi; Raden Noto Amidjojo; Soekoen; Pangat B; Soeparno; Soetojo; Sarman; Moekiman; Soekiman; Pangat/Hardjo; Sarkoen B; Sarkoen A; Kasan Diwirjo; Moeanan; ada sekitar 40 mayat tidak dikenali karena bukan orang Magetan,” kata Sufi Sudrun menyerahkan daftar nama korban kebiadaban PKI kepada Dullah.


        “Masya Allah, satu sumur “neraka” isinya 108 orang?” gumam Dullah menarik nafas panjang,”Tapi kata pakde dalam peristiwa biadab itu ada kyai-kyai yang dibunuh PKI. Benarkah itu, kang?”


        “Benar,” sahut Sufi Sudrun mengeluarkan selembar catatan,”Ini data dari sumur “neraka” II Desa Soco, Kecamatan Bendo, kabupaten Magetan yang berisi 22 mayat, yaitu: R.Ismiadi, Kepala Resort Polisi


Magetan; R.Doerjat, Inspektur Polisi Magetan; Kasianto, anggota Polri; Soebianto, anggota Polri; Kholis, anggota Polri; Soekir, anggota Polri; Bamudji, Pembantu Sekretaris BTT; Oemar Damos, Kepala Jawatan Penerangan Magetan; Rofingi Tjiptomartono,Wedana Magetan; Bani, APP.Upas; Soemingan, APP.Upas; Baidowi, Naib Bendo; Reso Siswojo, Guru; Kusnandar, Guru; Soejoedono, Adm PG Rejosari; Kjai Imam Mursjid Muttaqin, Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran; Kjai Zoebair; Kjai Malik; Kjai Noeroen;Kjai Moch.Noor.”


        “Masya Allah, dasar biadab,” kata Sukiran, “Data yang dari sumur “neraka” lain ada semua ya kang?”


        “Data sejarah ya pasti ada kalau dikumpulkan secara professional.”


        “Ya pantas arwah para korban kekejaman PKI pada protes ketika TEMPO mau membelokkan arah  sejarah dengan membentuk sudut pandang baru bersifat manipulatif bahwa sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” di Magetan berisi mayat anggota PKI. Padahal, rakyat Magetan beserta sejarawan dan ilmuwan sedunia sudah menemukan fakta bahwa sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” di Magetan itu adalah karya PKI ketika melakukan gerakan makar tanggal 18 September 1948. Hmm,..tendensius sekali Liputan Khusus TEMPO edisi 1 – 7 Oktober 2012 ini,” kata Dullah mendecakkan mulut sambil geleng-geleng kepala.


          “Gobloklah kita jika masih  percaya pada majalah TEMPO yang dengan  data  sarat rekayasa   nekad   mengubah Kebenaran sejarah dengan  memutar-balik fakta sejarah. Bumi Magetan yang dalam fakta sejarah jelas-jelas ditebari sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” hasil kebiadaban  PKI dibalik total menjadi bumi yang ditebari sumur-sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” berisi mayat anggota PKI yang disembelih Banser dan tentara. Begitulah Liputan Khusus TEMPO 1-7 Oktober 2012 itu membentuk Kebenaran Imajiner bahwa PKI adalah  organisasi yang sama dengan organisasi seumumnya yang  beranggotakan orang-orang baik, yang  tidak bersalah, kaum lemah tidak berdaya yang teraniaya dan  terzhalimi, yang telah menjadi  korban kebiadaban kaum beragama haus darah: NU, Ansor, Banser.,” kata Sufi tua sinis.


          “Lalu dengan nada menggurui dalam OPINI-nya Redaktur Senior TEMPO mengimbau pembaca bahwa “tidak selayaknya kita alergi terhadap komunisme.. [..]..karena itu tidak perlu melarang penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, Leninisme. Ketetapan MPRS tentang itu sebaiknya dihapus saja”. Tidak hanya  mengimbau, TEMPO malah sudah memberi contoh  kongkrit berupa usaha  menghapus jejak-jejak  kebiadaban PKI berupa sumur-sumur “neraka” dan “Ladang pembantaian” di Magetan lewat pembentukan opini baru bahwa sumur “neraka” dan “Ladang Pembantaian” di Magetan itu adalah jejak kebiadaban Banser dan tentara,” kata Sufi Sudrun. (Oleh: Agus Sunyoto II,   4 Oktober 2012)



Tempo Majalah Bungkus Tempe

0 comments:

Post a Comment

Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS